Saturday, December 27, 2008

Laskar Timbuktu di Dapur Sunda

26/12/08 malam bu de telpon bilang kalau dummy sudah sebagian besar selesai, “kita koreksi bareng yuk biar kompak” ajakku, ya udah biar Reri yang mengatur.

27/12/08 Jam 11 sms tiba dari bu de yang sudah datang di Dapur Sunda Hanggar, pilihan Didot, sementara aku baru pulang membakar lemak 450 Kcal di mesin Climb Max 150 favoritku. Ketika tiba sudah menunggu c, ~a~, omian, dan si sekjen selain bu de tentunya. Vini dan Didot menyusul kemudian Urip diakhir acara turut bergabung, ada juga yang berhalangan.
Kami melihat dummy buku 50 tahun yang memerlukan penyempurnaan sebelum naik cetak, foto dariku melengkapi cerita the living legend, pak Oher. “Udah meninggal ya?” Urip bertanya, padahal beliau masih sehat dan segar karena dulu sering makan sajen.

Senang menjadi salah satu orang pertama yang melihat calon buku sejarah, apalagi kami pelakunya. Sang dummy dalam dalam format pdf masuk ke dalam laptopku untuk dikoreksi, isinya sangat bervariasi dan mewakili seluruh angkatan.

Aku terkejut ketika melihat tulisan di halaman 125, gong buatan Akmal mantep banget, foto yang belum pernah kulihat terpampang disana, saat trekking ke air terjun gunung Pancar hasil jepretan Vini, “Pas dengan tulisannya” kata Reri. “Foto yang paling bagus” kata Kican atas penuturan Vini, tapi ngomong jangan di depan orangnya ya nanti GR itu pesannya kepada Kican.

Soal makan, cerita lain, aku satu meja lesehan bersama Vini dan Reri yang belum sarapan, “maklum anak kost” Vini berujar. Penduduk meja ini yang makannya paling banyak 1 gurame goreng bertiga yang lain berlima, Urip belum datang, ayam panggang, kangkung, toge, masih kurang? Pesanan dari meja tetangga berpindah berupa, keredok, empal, bahkan gurame goreng di depan bu de siap menjadi incaran “Mas, guramenya dong” yang ini suara Reri, entar dong kalau Endang sudah cuci tangan. Tak lama kemudian bu de cuci tangan tanda gurame siap berpindah tangan.

Paling enak makan ikan dekat Vini, dia paling suka makan siripnya, jadi dia makan siripnya kita yang makan dagingnya.

Kejutan muncul saat bon makanan tiba, satu juta lebih?, nggak salah? Setelah cek & ricek akhirnya 560 ribu termasuk diskon dan pajak, rupanya ada beberapa pesanan yang dihitung berkali-kali. Jadi harus teliti atau mungkin temennya omian, anak Smandel 80 yang juga makan, yang masukan bon kesini. Tulisan barusan jangan dibuat serius nanti bisa satu angkatan menggulung lengan.

Ya begitulah tim yang kompak kalau lagi makan, tapi kalau giliran kerja teriak ampun-ampun deh.

Cukup banyak tulisan yang salah cetak, foto yang kurang tepat penempatannya, kesalahan kecil namun cukup mengganggu, jadi bersabar ya .........., sambil kami tak lupa mengucapkan “Selamat Tahun Baru 1430 H dan 2009 M”

Tuesday, November 11, 2008

Menyemai angin menuai badai

Dihapus untuk sementara

Jedung ....... jedung .......... jedung

Namanya juga anak SMANDEL yang nggak bisa ngeliat kamera nganggur, waktu photo session peminatnya buanyuak buangeut, beberapa hari setelah selesai acara ada yang ngirim sms kalau angkatannya punya 6 pasang pasutri, nggak jelas cuma laporan atau minta difoto, ada juga yang telpon bilang kalau si penelpon punya anak kembar di SMANDEL, nanya boleh nggak motret sendiri terus dikirim untuk dimasukkan ke Buku 50 tahun SMANDEL, dengan sangat menyesal permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi.

Waktu gue jalan melewati lapangan upacara saat photo session gue lihat ada kamera di lantai 2, nggak jelas tustel atau CCTV, waktu gue bergaya Rini dateng ikutan bergaya, nggak berhenti sampai disitu Reri yang melihat nggak mau ketinggalan diapun berlari jedung ..... jedung ... jedung ........... dan bumipun bergetar jadilah foto bertiga.

Lagi enak-enaknya bergaya bertiga, bumi bergetar lagi jedung ..... jedung ...... jedung ....... ternyata Bowie berlari ikutan bergabung, berempat sudah dan tiba-tiba berlima tanpa tanda-tanda bumi bergetar ternyata Akmal bergabung dengan menerapkan ilmu kung fu, larinya jinkang yang terjemahan bebasnya jinjit sambil ngangkang.


Dari buku muka alias facebook:

Bowie "ini beda angkaan semua lho...., Akmal 86, Reri 92, Chormen 81, gue 87, Rini 84.. hebat ya smandel united"

Rini Mulyawati "... just in time!"

Crista yang melihat tapi nggak bisa bergabung hanya berkomentar di facebook "huh... gue lagi megangin 2 printilan, pada foto2 deh..."

Akhirnya keluarlah ide untuk foto bersama membentuk formasi 50, melambangkan usia setengah abad sekolah tercinta, mau lihat fotonya yang bagus itu, datang aja ke Reuni Emas SMANDEL sekalian beli bukunya yang dicetak terbatas.

Salam jedung, jedung, jedung

Monday, November 10, 2008

Black or white

Setelah photo session berakhir untuk kakak beradik, pasutri dan orang tua anak yang bersekolah di SMANDEL, laskar timbuktu berencana melakukan foto bersama di sebuah studio di bilangan Pasar Minggu. Supaya seimbang, setelah memotret teman-teman giliran tim buku yang bergaya.

Vini memberikan penjelasan singkat bahwa foto di studio hari Rabu 5 November jangan menggunakan pakaian berwarna putih atau hitam karena paling nggak oke hasilnya. Kalau pakaian putih kasihan juru fotonya karena difotonya harus sendiri-sendiri nanti baru digabung supaya detailnya bisa terlihat jelas, mengerjakannya bisa dua hari.

Ketika foto bersama dengan pakaian kasual, yang ada mereka pada mengenakan blus putih semua kecuali gue dan Crista, seolah-olah kami berdua yang saltum alias salah kostum, biar deh saltum asal ikutan difoto.

Setelah itu bergaya dengan pakaian formal, lagi-lagi gue saltum semua lelaki menggunakan jas warna hitam, ontje more biar saltum yang penting ikut difoto.
Kok jadi begini sih, jangan menggunakan pakaian berwarna putih dan hitam malah mereka melanggarnya. Selidik punya selidik kelihatannya sih kecuali Crista, yang lain pada buta warna.

Mau lihat foto-fotonya, datang aja ke Reuni Emas SMANDEL dan jangan lupa untuk beli Buku 50 tahun SMANDEL

Wednesday, November 5, 2008

eternal sunshine of the smandeler's mind

sejak sabtu malam (1/11) ketika laskar timbuktu -- ini sebutan reri buat tim buku -- menggelar rapat terakhir persiapan pemotretan alumni pada minggu pagi, yang dikhawatirkan cuma satu hal: gimana kalau hujan, dan lama?

bisa bubar semua rencana.

padahal respon alumni buat difoto sungguh di luar dugaan.
padahal tiga fotografer handal tim buku (vini, bayu, dan om jul) sudah sangat antusias.
padahal bowie sang p.o. pemotretan sudah merancang ini itu ...

alhamdulillah pagi datang dengan cerah.
satu persatu alumni datang (sampai para fotografer harus "overtime") karena baru ada yang muncul ... jam 4 sore! jumlah alumni yang melakukan registrasi sekitar 100-an orang menurut reri.

ternyata lumayan banyak pasutri smandel, apalagi dua generasi ortu-anak, apalagi
yang bersaudara ...

sehingga membuat om chormen yang menjadi pengarah gaya dadakan (kadang lebih bergaya ketimbang yang difoto, hehehe...) jadi bersemangat sekali di lapangan. kelinci alkaline aja kalah aktif dari om ganteng ini.

alhamdulillah hujan nggak turun setetes pun di pagi-siang-petang yang ternyata bertepatan dengan ulang tahun si cantik anaknya bimo-dea ('86), sehingga pada nyanyi selamat ulang tahun di lapangan yang terik.

pikiran para alumni yang tetap optimistis, seperti cerlang mentari yang membuat segala hal menjadi hangat, untungnya bisa membuyarkan banyak kecemasan yang sempat bergayut di kepala bowie.

dan sambil pulang setelah pemotretan, di telinga gue yang berdenging cuma gema suara axl rose belasan tahun silam:

so never mind the darkness, we still can find a way
'cause nothing lasts forever, even cold november rain ....

malemnya baru beneran turun hujan. november rain.

thanks buat para alumni yang sudah meluangkan hadir di pemotretan kemarin.

~a~

Saturday, November 1, 2008

I LOVE THIS GAME! (AND SMANDEL, OF COURSE)

Syahrizal Affandi*

Angkatan 1992



Saya belajar di SMAN 8 Jakarta tahun 1989-1992, dengan pengalaman di lapangan basket sebagai salah satu pengalaman yang paling bermakna. Saya dan tim basket Smandel berbangga hati karena kami mampu menumbangkan raksasa-raksasa basket SMA di Jakarta saat itu seperti SMA 3, SMA 70, atau SMA PSKD yang sedang berjaya.

Turnamen antar sekolah begitu ramai, baik frekuensi pertandingan atau jumlah penonton, sehingga kami bisa mengikuti dua turnamen d alam waktu bersamaan. Bagi saya ini membanggakan karena citra Smandel sebelumnya yang hampir selalu diidentikkan sebagai sekolah yang ‘belajar melulu’ dan ‘culun’.

Mau bukti? Di awal era 90-an itu tawuran sekolah hampir tiap hari terjadi di seluruh pelosok Jakarta . Satu ketika kami harus pergi bertanding di GOR Bulungan, Jakarta Selatan. Di terminal Blok M kami dihadang oleh segerombolan murid dari SMA lain. Mereka berteriak lantang sambil petantang-petenteng , “Anak mana lu?”. Dengan beringas mereka mendekati kami, mungkin mau menantang berkelahi. Tapi begitu melihat nama lokasi di seragam kami, ajaib, mereka membatalkan niat dan ngeloyor pergi sambil mengejek. “Ah, anak 8 yang culun. Pergi aja deh lu!”.

Mungkin mereka berpikir “nggak level” kalau harus berkelahi dengan anak-anak Smandel. Itulah sedikit citra Smandel saat itu (atau jangan-jangan sampai sekarang?). Namun itulah yang membuat tim basket Smandel terlecut untuk membuktikan bahwa kita juga punya “otot” untuk berprestasi, bukan cuma punya “otak”.

Ini terjadi dalam satu kejuaraan penting antar SMA yang diadakan oleh RCTI. Di semi final Smandel berhadapan dengan favorit juara, SMA 3 Jakarta. Saat itu Stadion Hall B Senayan dipenuhi supporter SMA 3. Hampir semua kursi diduduki anak-anak SMA 3 kecuali satu sudut kecil yang hanya berisi … 10 orang anak Smandel! Bisa dibayangkan bagaimana besarnya tekanan yang kami rasakan.

Pertandingan berjalan tak seimbang. Dari menit ke menit kami selalu tertinggal dalam perolehan angka. Namun kami berusaha agar terus mendekati, agar tidak ketinggalan jauh dalam pengumpulan poin. Akhirnya sampailah pada 10 detik terakhir di mana Smandel tertinggal 1 poin, namun sayangnya bola ada di tangan lawan. Satu saja tembakan mereka yang berhasil akan membuat seluruh upaya kami sia-sia. Saya yakin seluruh anggota tim Smandel dan penonton saat itu sudah membayangkan kami akan pulang dengan wajah lunglai.

Satu tembakan jarak dekat dilayangkan oleh seorang penyerang lawan. Habislah Smandel! Oops, luput, tembakan itu gagal menjadi poin! Muntahan bola menuju ke arah saya seperti diantarkan langsung oleh Dewi Fortuna. Saya berlari kencang sekali, bertarung melawan detik-detik yang hampir habis.

Saya sudah tak mendengar lagi teriakan penonton, kecuali menatap lekat ke arah ring basket yang masih cukup jauh di depan mata. Saya melayang mendekati ring, melepaskan bola, dan masuk! Stadion langsung terdiam, kecuali oleh jerit 10 orang penonton dari Smandel itu. Sebuah sejarah tercipta: SMA 3 sang favorit juara ditaklukkan oleh SMA ‘culun’ yang pekerjaan muridnya cuma ‘belajar melulu’.

Kemenangan sensasional di semi final ini menjadi tambahan motivasi yang luar biasa bagi kami sehingga terbawa ke pertandingan final, di mana Smandel akhirnya menjadi juara 1 RCTI Cup setelah menekuk SMA 70, yang saat itu lebih dijagokan. Seluruh anggota tim berpelukan dengan Pak Ugi, guru olah raga yang juga menjadi pelatih kami. Kami menangis terharu, antara percaya dan tidak percaya bahwa hal ini bisa terjadi: Smandel bisa jadi juara basket!

Dampak kekalahan SMA 3 di semi final ternyata fatal. Saya mendengar bahwa tim basket mereka tidak diperkenankan sekolahnya untuk bertanding selama 6 bulan. Mungkin mereka diharuskan menjalani penggodokan luar biasa untuk tidak mengalami peristiwa ‘memalukan’ seperti itu lagi. Tapi lagi-lagi nasib berkata lain.

Setelah 6 bulan berlalu, uniknya tim SMA 3 dan tim Smandel bertemu kembali dalam satu penyisihan turnamen. Karena Smandel sudah masuk unggulan, sedangkan SMA 3 tidak, maka kedua SMA bertemu di awal pool. Kali ini terbukti, kemenangan Smandel setengah tahun sebelumnya bukan sekadar kebetulan karena kami kembali bisa memenangi pertarungan ketat dengan 2 poin.

Karena prestasi tim basket Smandel, upacara bendera pada setiap Senin yang biasanya didominasi dengan majunya anak-anak bidang sains untuk tampil ke depan lapangan karena kemenangan mereka di berbagai kejuaraan, mulai mengalami sedikit variasi. Tim basket Smandel mulai sering dipanggil untuk maju di depan peserta upacara oleh kepala sekolah Pak Nurdin Amir. Bagi saya ini sangat membahagiakan.

Namun sedihnya, prestasi ini nyaris tak terulang lagi. Yang saya dengar, sampai angkatan sekarang belum pernah lagi tim basket Smandel mampu menyamai prestasi tim tahun-tahun awal 90-an itu. Mungkinkah akibat perhatian dan dukungan sekolah tidak lagi didapat tim basket seperti dulu?

Saya sering iri melihat sekolah-sekolah bagus di luar negeri maupun sekolah internasional di sini menyiapkan sarana dan prasarana olahraga yang sangat bagus bagi siswanya. Juga bagaimana para siswa diberi persyaratan nilai akademis minimal jika ingin terus bergabung dengan tim olahraga di sekolahnya.

Saya pribadi telah merasakan manfaatnya hingga saya bekerja sekarang. Selain menorehkan prestasi di lapangan basket, saya juga mendapat beasiswa hingga mendapat gelar MM-UI, dan keluasan networking dengan para pelaku bisnis besar. Kadangkala ketika bertemu dengan pihak lain untuk urusan bisnis, topik basket menjadi ice breaker pembicaraan.

Pada kesempatan Ulang Tahu Emas Smandel (1958-2008) ini, saya mendorong Smandel untuk memberikan tempat dan dukungan yang setara bagi kawan-kawan yang aktif di bidang olahraga, seperti halnya dukungan berlimpah yang diberikan kepada kawan-kawan yang bergerak di bidang sains.

Saya ingin seluruh warga Smandel, terutama para pelajar yang masih menimba ilmu saat ini, bisa sama bangganya ketika berkata: “I love this game. And I love Smandel, too.”



* Syahrizal ‘Jali’ Affandi setelah lulus dari Smandel menjadi pemain profesional Liga Basket Indonesia

Wednesday, October 29, 2008

photo session

terima kasih buat respon kawan-kawan alumni,

buat memudahkan reri dalam pengaturan pemotretan nanti, mohon dikirimkan data:



------------ --------- --------- ---

1. nama lengkap & angkatan di smandel (wajib)

2. profesi/aktivitas sekarang (optional)

------------ --------- --------- ------



dari alumni yang akan difoto. data dikirimkan ke: buku_smandel@ yahoo.com



atau sms ke reri wulandari ('92), sekretaris tim buku smandel : 0816.1869 124



atau bowie ('87), p.o. pemotretan di: 0812 9579 623



salam,



~a~



malu difoto, sesat di buku kenangan (halah!)

YANG BIASA, YANG BERJASA

SIAPA “pemilik” SMAN 8 yang sebenarnya? Jangan lupa, sekolah hebat ini bukan hanya milik para kepala sekolah, guru-guru, murid, atau staf administrasi saja. Di luar itu masih ada sederet nama yang menyokong mulusnya proses belajar mengajar. Entah karena layanan kebersihan mereka yang prima, suasana keamanan yang terjaga, atau jajanan yang mereka jual sebagai pemasok stamina.

Editor Buku 50 Tahun Smandel, Chormen, menelusuri sejumlah nama 'orang biasa' yang berkiprah luar biasa bagi perjalanan sekolah tercinta. Sebab ketika kepala sekolah, guru, atau para murid, datang dan pergi, 'orang-orang biasa' ini tetap berbakti di lingkungan Taman Bukit Duri. Inilah profil singkat beberapa di antara mereka.



OHER, 81 tahun

Mantan penjaga sekolah



Setiap komunitas memiliki living legend-nya masing-masing. Di lingkungan SMAN 8, predikat bergengsi itu layak diberikan, salah satunya, kepada Oher bin Itdlasim. Mau tahu apa sebabnya? “Saya kerja di SMA 8 sejak tahun 1965 ketika sekolah ini masih numpang di SMP 3,” kata lelaki yang masih terlihat masih gagah dan kuat itu. Nah! Siapa lagi yang bisa melewati “rekor” seperti itu, coba?

Setelah 31 tahun bertugas, Pak Oher pensiun pada 1996. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah ketika satu saat perjudian sedang marak-maraknya berlangsung. Sebuah pohon besar yang kini dijadikan kantin sekolah selalu dipenuhi berbagai jenis sesajen setiap malam Jumat. Apakah pengalaman ini membuat ngeri sang penjaga sekolah? Tidak sama sekali, saudara-saudara. “Soalnya begitu suasana sepi, semua rokok, makanan, dan buah-buahan di sesajen itu saya yang nikmatin,” katanya terkekeh-kekeh.

Kini salah seorang putra Pak Oher menjadi Wakil Kepala Sekolah SMAN 49. Para tetangganya memanggilnya “Pak Haji” setelah rukun kelima ia tunaikan beberapa tahun lalu. Itu juga salah satu peristiwa yang berkesan karena saat “gelar” haji didapat, “Saya justru harus rela melepas istri saya meninggal di tanah suci,” katanya. Untuk sesaat, binar di matanya terlihat meredup. Tapi ketika obrolan kembali menyangkut SMAN 8, nyala itu kembali berkobar.

Terima kasih atas segala pengabdianmu, Pak Haji Oher.





PIL KOLIN, 54 tahun.

Pedagang teh botol



Nama aslinya Yono. Nama bekennya diberikan anak-anak Smandel karena tampangnya yang (dianggap) mirip dengan vokalis Genesis, Phil Collins. Entah siapa yang memulai panggilan yang sekarang melegenda itu, karena tak pernah ada yang mendaftarkannya sebagai hak paten.

Sejak kapan Yono, eh, Pil berdagang di lingkungan SMAN 8? “Sejak jaman Marissa (Haque),” katanya. Itu artinya, bagi para alumni yang belajar di SMAN 8 sebelum tahun 1979, jelas tidak pernah bertemu Pil. Sekarang, lelaki berusia 54 tahun ini ditunjuk sebagai koordinator kebersihan di kantin sekolah yang diisi 12 pedagang.

Enak mana berdagang jaman dulu dengan sekarang, Pil? “Enakan dulu, bisa sampai 100 krat sehari. Apalagi kalau ada class meeting atau ada yang ngeband,” katanya. Sekarang, menurut Pil, persaingan sangat ketat sehingga penjualan tak selaris dulu. Apakah itu berarti class meeting atau festival band di SMAN 8 sekarang ini anjlok juga jumlahnya?

Pil tak menjawab. Itu karena Buku 50 Tahun Smandel juga tak menanyakannya.



TWINIARSO & TWINIASTO, 46 tahun

Tukang parkir



Kalau di komik Tintin ada detektif kembar Thompson & Thomson, di dunia musik pop Indonesia ada Alex & Jacob Kembar Group, maka di lingkungan SMAN 8 juga ada kembar identik Arso dan Asto, yang bekerja dari 1980-1991. Karena kembar, banyak juga peristiwa lucu yang terjadi. Yang memarkirkan mobil sebetulnya Arso, eh, yang dapat duit malah Asto. Atau sebaliknya. “Selain sebagai tukang parkir, kami dulu juga ‘merangkap’ sebagai preman,” kata Arso mengungkapkan masa lalunya.

Sejak pensiun dari dunia ‘secure parking’ di lingkungan Smandel, keduanya mengambil jalan profesi berbeda. Asto menjadi pekerja kantoran. Arso memilih pekerjaan yang lebih ‘enak’ dengan sering membawa cewek cantik, kadang-kadang istri orang, yang bersedia memeluk pinggangnya. Maklum, dia sekarang menjadi tukang ojek yang mangkal di depan sekolah.

Tapi untuk soal preman ini, sebetulnya sudah tidak perlu dibahas lagi. Karena saat wawancara berlangsung, Arso justru dengan sopan mengingatkan. “Maaf mas, sudah mau sholat Jum’at.”

Rupanya masjid sudah masuk ke dalam daftar “jadwal parkir” Arso sekarang. Alhamdulillah.





SUWARNO, 60 tahun

Satpam



Bertugas sebagai penjaga keamanan sejak 1994, dari mulut Suwarno justru lebih banyak keluar tentang kisah 'dunia lain' ketimbang problem keamanan di sekolah, apalagi informasi yang lebih rinci tentang dirinya. Salah satunya seperti ini. “Saya sering banget lihat seorang perempuan tua turun dari tangga *** (sengaja tidak dilengkapi – red). Rambutnya panjang warna putih, memakai baju warna ungu,” katanya seolah-olah sedang membawakan sebuah tayangan mistik di televisi.

Secuil informasi yang muncul tentang hidupnya justru menyangkut banjir. “Kalau di sekolah sudah banjir semata kaki, berarti di rumah saya sudah banjir seleher,” katanya. Usut punya usut, ternyata rumah Suwarno di kawasan Kampung Melayu yang lebih rendah lokasinya dari SMAN 8.

Cuma tidak dijelaskan apakah kalau sudah banjir begitu, dia lebih suka menjaga rumah atau menjaga sekolah.



DARMIN, 29 tahun

Satpam



Tiga tahun setelah Suwarno bekerja sebagai penjaga keamanan di SMAN 8, masuklah Darmin yang saat itu masih berstatus jomblo. Entah terpengaruh oleh gaya bercerita sang senior, yang meluncur dari mulut Darmin adalah kisah-kisah sejenis. Misalnya bagaimana ketika pada satu malam saat ia tidur di salah satu lokasi di SMAN 8, salah satu makhluk halus memeluknya dengan kuat dan menindihnya sampai ia megap-megap kesulitan bernapas. “Saya sampai minta ampun, menyerah. Baru makhluk itu menghilang,” Darmin mengenang.

Selesai? Beberapa malam kemudian peristiwa itu terjadi lagi di tempat yang sama, sehingga Darmin memutuskan untuk tidak akan pernah lagi tidur di tempat yang sama. Yang pasti, supaya tidak terjadi hat trick yang “dimenangkan” sang lawan. Tapi bagi para alumni yang punya cadangan nyali, silakan bertanya pada Darmin tentang lokasi sebenarnya di sekolah tercinta.



PURWANTO, 39 tahun

Petugas kebersihan



Purwanto adalah generasi kedua di keluarganya yang bekerja untuk SMAN 8. Ayahnya, Pak Silam, adalah pensiunan pegawai di bagian penjilidan. “Saya kerja di sini sejak tahun 1992,” katanya. Tanggung jawabnya adalah menjaga kebersihan di lantai satu. Tapi kini, sejak alumni menyumbangkan 8 jenis pohon langka yang ditanam di halaman sekolah, Purwanto menugaskan dirinya untuk lebih cermat merawat pepohonan itu.

Apa pengalaman yang paling berkesan selama bekerja di SMAN 8? “Bertemu dengan alumni lama,” jawabnya cekatan. Ah, bisa saja mas Pur ini mengambil hati.





SOBARI, 38 tahun

Petugas kebersihan



Daerah ‘kekuasaan’ Sobari adalah di lantai tiga. Itu di hari kerja. Kalau di hari Sabtu dan Minggu ketika BTA (Bimbingan Tes Alumni) beroperasi, maka Sobari di-BKO-kan sebagai koordinator kebersihan untuk seluruh wilayah. “Sekarang piket kebersihan kelas sudah tidak ada lagi, karena tugas itu dikerjakan oleh saya dan kawan-kawan,” ujar petugas yang bekerja mulai 1993 itu. Satu orang lagi yang dimaksudkan Sobari adalah Adih.

Empat tahun setelah bekerja di SMAN 8, Sobari memanjatkan puji syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT. “Saya akhirnya berhasil punya rumah sendiri di pinggir kali dekat sini,” katanya dengan nada gembira. Jadi dekat ke sekolah, dekat juga ke rumah.

Barangkali yang belum terpikirkan oleh Sobari hanya satu: kalau SMAN 8 jadi pindah lokasi.



ENTIN

Petugas katering



SMAN 8 sering menggelar kegiatan yang membutuhkan jasa katering. Salah satu yang sering berperan adalah Entin, perempuan sederhana yang mungkin tak pernah dikenal mayoritas alumni. Entin bukan pemilik katering, dia hanya sering membantu-bantu dalam menyiapkan katering. Jadi kenapa dia harus diekspos? Karena Entin adalah anak Pak Oher. “Oh bukan, salah itu. Saya cucu Pak Oher, bukan anaknya,” Entin meralat selentingan yang beredar di kalangan Buku 50 Tahun Smandel.

Ya, seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, maka tak ada anak cucu pun jadi. Karena Entin pernah tinggal di lingkungan sekolah saat Pak Oher masih bekerja, maka banyak pengalaman menarik yang pernah dia alami. Tapi yang paling diingatnya ketika dia dan Pak Oher ‘menemukan’ dua orang preman yang sedang tergolek di bak sekolah karena sedang ... mabuk!

AKSI HEROIK IBU HILMA

Oleh: dMoNo ‘79*




Mahasiswa angkatan 1970-an memang bukan kelompok pertama yang membentuk gerakan melawan pemerintahan. Tetapi dengan idealismenya yang tinggi dan semangat menggebu, mereka seakan menjadi kekuatan moral yang selalu berusaha mengoreksi segala bentuk penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu penyimpangan itu dilakukan dengan sangat gamblang oleh Orde Baru, rezim yang awalnya justru sangat diharapkan sebagai motor perubahan menuju Indonesia yang lebih modern. Namun dalam perjalanannya, mantan Presiden Soeharto justru membuat banyak kebijakan yang sarat bermuatan KKN yang membuat mahasiswa gerah.

Dalam upaya meredam aktivitas politik mahasiswa yang mulai menunjukkan pembangkangan terhadap Orde Baru, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan untuk mensterilkan kampus dari kehidupan politik.

Salah satu peristiwa yang berkaitan dengan SMAN 8 dalam konteks NKKBKK terjadi pada medio April 1978. Saat itu terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Peserta demonstrasi bukan saja mahasiswa Universitas Indonesia dan kampus-kampus lainnya di ibukota, tetapi juga melibatkan siswa Sekolah Menengah Atas yang dikoordinasi oleh IKOSIS (Ikatan OSIS) Jakarta. Sejauh ini, hal itu masih belum mengganggu aktivitas belajar di SMAN 8.

Awalnya, kami para siswa sangat tidak antusias untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi yang digalang IKOSIS Jakarta. Tetapi kemudian muncul ancaman dari mereka. ”Bila SMA 8 terus tidak ikut demo, kami IKOSIS Jakarta akan menyerbu Taman Bukit Duri.” Kira-kira begitulah kabar yang beredar.

Alhasil koordinasi internal pun dilakukan pengurus OSIS dengan pengurus PUAPALA. Hasil kesepakatan adalah SMAN 8 akan ikut melakukan demo, tetapi hanya sebatas area sekolah. Tidak diperbolehkan ada yang keluar, kendati beberapa rekan telah berada di Salemba. Maka dalam waktu singkat bertebaranlah poster-poster dan spanduk di seluruh dinding sekolah yang isinya menentang diberlakukannya konsep NKK/BKK.

Pada hari kedua, demo masih berjalan tertib. Setiap siswa SMA 8 -- mayoritas dari kelas 2 dan 3 – yang ikut demo mengenakan pita warna hitam yang dipasang di lengan. Memang tidak semua siswa bersedia ikut demo. Tetapi itu tidak masalah, karena memang tidak diwajibkan. Mereka yang tidak ikut demo hanya menonton rekan-rekannya melakukan orasi di lapangan basket.

Namun tanpa diduga sama sekali, datanglah dua truk ABRI (kini TNI) mendatangi SMA8 dan sepasukan tentara baret hijau tahi ayam, mungkin dari Arhanud, turun dengan sigap dari badan truk dan langsung mengepung SMAN 8. Dengan dengan mata merah tanpa ekspresi sebagian dari mereka langsung mendobrak masuk melalui pintu dekat kantin pak Okher, membuat para siswa panik.

Tak berapa lama sang komandan juga masuk dan dengan suara keras meminta kami untuk mencopot semua poster, spanduk, foto-foto serta segera menyerahkan semua kamera. Bentakan prajurit terdengar di mana-mana. Meski diliputi rasa takut, namun kami menolak perintah itu dan berusaha mempertahankan semua poster dan spanduk tetap berada di tempat masing-masing.

Penolakan para murid SMAN 8 itu barangkali tak pernah dibayangkan para tentara, sehingga membuat mereka makin marah. Sang komandan menginstruksikan kepada anak buahnya untuk menggiring kami menaiki truk ABRI.

Tak bisa lagi menolak, akhirnya satu persatu kami menaiki truk dengan gemetar dan ketakutan entah akan dibawa kemana. Dalam suasana yang menegangkan karena suara-suara keras para tentara, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat nyaring. Begitu nyaringnya sehingga membuat semua orang terdiam mendengar perkataannya.

“Turunkan anak-anakku dari truk! Kami akan patuhi perintah!”

Saya menoleh ke belakang, ternyata suara itu muncul dari ibunda tercinta Dra. Hilma Dahnir, kepala sekolah SMAN 8. Meski suaranya keras, saya lihat matanya berkaca-kaca, dan beliau lalu bernegosiasi dengan komandan pasukan. Akhirnya “perintah” bu Hilma dipatuhi tentara. Satu persatu kami kembali diturunkan.

Ada satu insiden kecil ketika seorang murid yang turun dari truk, saya lupa namanya, menggerutu sambil mengomeli ABRI. Tiba-tiba saja, tap!, popor senjata seorang prajurit mampir di tubuhnya yang membuat murid itu terdiam. Untung bukan kepalanya yang dihajar. Konon, belakangan beredar kabar bahwa prajurit yang ditugaskan menyerbu SMAN 8 baru saja kembali dari tugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste – red), dan belum sempat kembali ke markasnya. Kabarnya lagi, mereka juga disuntik agar tidak mudah lelah dan menjadi beringas dalam bertugas. Entah suntikan jenis apa.

Selain insiden truk yang akhirnya justru menunjukkan aksi heroik ibu Hilma Dahnir, murid-murid yang memilih masuk ke dalam kelas juga seperti sepakat melakukan aksi bisu. Tak ada seorang pun yang bicara, sehingga suasana kelas sangat lengang, selain tegang. Beberapa saat kemudian para prajurit yang “bertugas” di SMAN 8 itu ditarik kembali, sehingga suasana sekolah untuk sejenak kembali tenang. Ternyata kami diliburkan selama dua hari, dan SMAN 8 dijaga aparat.

Tapi hal itu belum berakhir. Meski sekolah kini sudah bersih dari poster dan spanduk, ternyata pencarian terhadap pemasang poster, spanduk dan yang mengambil foto-foto demonstrasi terus dilakukan aparat, bahkan melibatkan sejumlah intel. Isu penangkapan/penculikan terhadap siswa tertentu akhirnya tersebar luas dan, ini yang membuat kami takut luar biasa, karena kabarnya akan dilakukan dengan paksa. Bahkan dengan penculikan bila perlu.

Isu ini juga punya dampak lain, yaitu munculnya kecurigaan antarsiswa terutama terhadap siswa-siswa yang diduga sebagai intel. Pengeroyokan terhadap salah seorang siswa hampir saja terjadi pada satu hari, karena kuat dugaan teman-teman bahwa siswa itulah yang selalu mencari informasi tentang siapa saja para pemasang poster dan spanduk di sekolah. Untunglah keributan yang lebih parah berhasil dicegah.

Kekhawatiran itu membuat sebagian dari kami tidak berani kembali kembali ke rumah, takut akan diciduk petugas. Sepulang dari sekolah kami sembunyi di sebuah villa di daerah Cibulan. Uniknya, ada juga yang malah sembunyi di Bandung. Saat itu jarak Jakarta-Bandung lumayan jauh, jangan bayangkan dengan kondisi sekarang dengan adanya jalan tol Cipularang yang membuat kedua kota hanya berjarak 2 jam perjalanan.

Tidak ada yang paling berkesan bagi saya dari saat demo-demo itu terjadi di SMAN 8 selain kekompakan antarsiswa, guru, dan terutama keberanian kepala sekolah Ibu Hilma Danir yang luar biasa. Kami pun lulus tahun 1979 setelah mengalami perpanjangan waktu selama enam bulan. Kami juga yang menjadi generasi terakhir dari murid SMA yang memakai seragam putih biru.

Era NKK/BKK sendiri akhirnya dinyatakan usai setelah Prof. Dr. Fuad Hassan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Daoed Joesoef.


dMoNo adalah nama panggilan Dwi Pramono, alumnus Smandel angkatan 1979.

MISSION IMPOSSIBLE TIM MATEMATIKA*

Mohamad Fajar Syahwali

Angkatan 1992





Tahun 1991 merupakan tahun spektakuler bagi SMAN 8 Jakarta. Sebab dari 6 orang anggota tim International Mathematics Olympiad (IMO/Olimpiade Matematika Internasional) Indonesia yang bertarung di Swedia, tiga di antaranya adalah siswa Smandel tercinta yaitu: Ongki Kurniawan, I Ketut Budi Muliarta dan Nusufirmansyah. Prestasi ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan setahu saya sampai saat ini juga belum pernah disamai lagi, oleh sekolah mana pun di tanah air.

Bagi angkatan kami yang tepat berada satu tahun di bawah ʽSmandel Dream Teamʼ itu, prestasi mereka menjadi beban yang luar biasa berat. Bagaimana tidak? Angkatan kami sejak masuk dianggap kurang meyakinkan secara akademis. Tak jarang para guru mengeluh secara terbuka.

Walaupun demikian, usaha mesti ditempuh. Mission Impossible pun dijalankan. Kepala Sekolah Pak Nurdin Amir meminta Ibu Pangestuti yang memang guru matematika untuk membentuk tim baru sejak bulan pertama kami naik kelas tiga. Tidak tanggung-tanggung, ada 15 orang yang dilatih secara intensif dengan tambahan 2-3 jam matematika per hari. Kami juga dimotivasi dengan kisah-kisah kehebatan para senior macam Harinaldi, Rustamaji dan tentu ketiga kakak kelas kami tersebut.

Namun dalam perjalanan yang melelahkan untuk menguliti soal-soal matematika ʽwarisanʼ jaman Belanda atau hasil IMO tahun sebelumnya, sebagian anggota tim rontok. Ada yang jenuh, ada pula yang lebih memilih ikut bimbingan belajar dengan target lulus UMPTN. Meski jumlah anggota berkurang, ternyata hasil binaan Ibu Pangestuti memang mantap! Ibarat grand prix bulu tangkis, karena karena Smandel memiliki banyak stok pemain, maka mudah digonta-ganti sesuai kebutuhan.

Musim kompetisi tahun 91/92 dimulai dari Universitas As Syafiʼiyah, dengan hasil Smandel merebut juara I melalui saya sendiri Sayang, giliran lomba berlangsung di Universitas Nasional, dua tim yang diikutkan Smandel gagal mencapai final. Kedua turnamen ini memang tak hanya melombakan matematika tetapi juga IPA. Bahkan kompetisi di Unas menerapkan ujian praktek.

Smandel kembali bersinar di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara meyakinkan, seluruh lawan dibabat sejak awal turnamen. Sigit Puspito mendapatkan poin tertinggi di babak penyisihan. Di acara final yang dipimpin langsung oleh pembina Tim Matematika Nasional, Prof. Andi Hakim Nasution, tim Smandel A (Iko, Sigit, dan saya) menjadi juara I, sedangkan Smandel B (Igo, Tanjung, Rizqy) menjadi juara III setelah mengalahkan musuh bebuyutan dari SMAK I dan SMAK III. Alhasil keenam anggota tim Smandel berhak untuk mengikuti Asia Pacific Mathematics Olympiad (APMO). Igo (Lettu Sri Tigo Kencono, kini almarhum) bahkan mendapatkan honorable mention pada APMO tahun itu.

Di IKIP, prestasi Smandel lumayan baik dengan hasil 1 piala atas nama Tanjung. Kemudian di Akademi Ilmu Statistik, Smandel kembali mendominasi dengan menempatkan 4 dari 6 orang finalis, dan meraih 3 piala. Penampilan Danu, Tanjung, Dicky dan Indra di dalam mengerjakan soal secara live di depan penguji dan ratusan penonton menggentarkan lawan-lawan.

Keberhasilan berlanjut di STMIK Gunadarma. Dengan suntikan tambahan dari para jagoan komputer Smandel seperti Novi Abubakar, Yudianto Permono, dan Indralaksana, Smandel turun dengan 3 tim sekaligus. Tim Smandel berhasil kembali mendominasi dengan meraih juara I dan III melalui perjuangan ketat dalam pertandingan berformat cerdas cermat.

Penampilan yang juga tak kalah mengkilap di dalam format cerdas cermat adalah saat menyabet gelar juara III di Universitas Pakuan, Bogor, dengan suntikan pemain tambahan dari para jagoan ilmu biologi (A2) seperti Santi Budiasih dan Eggi Arguni. Sayang penampilan Smandel di Fateta IPB di kampus Darmaga, yang saat itu masih gersang, kurang berhasil.

Untungnya ini hanya semacam break down sesaat. Prestasi tim matematika Smandel kembali berkilau ketika berhasil menempatkan dua orang siswa terbaik ke IMO 1992 di Moskow. Iko Pramudiono dan Sri Tigo Kencono melalui berbagai tahapan seleksi yang melelahkan, akhirnya melanjutkan tradisi menempatkan siswa Smandel di tim matematika Indonesia ke IMO. Ini sangat mengharukan karena angkatan yang semula dipandang sebelah mata, ternyata mampu berprestasi cukup meyakinkan.

Hampir seluruh anggota tim matematika Smandel 91/92 akhirnya menyelesaikan tugas dengan sukses. Ternyata usaha keras, semangat juang, doa, serta pengorbanan waktu, tenaga, biaya dan pembinaan dari Ibu Pangestuti berbuah manis.

Bagi para alumni yang selalu menganggap Ibu Pangestuti sebagai guru killer dalam mengajarkan matematika, ada rahasia yang hanya diketahui para anggota tim. Yakni, kalau beliau mengajar di kelas selalu tanpa kompromi dan selalu memanggil dengan nama lengkap siswa, namun begitu mengisi pelajaran tambahan gayanya berubah 180 derajat. Ibu Pangestuti tidak segan-segan bercanda dan bahkan memanggil kami dengan ... nama panggilan!





* Dipersembahkan untuk Ibu Pangestuti yang dengan sabar mendidik kami ,dan rekan almarhum Lettu Sri Tigo Kencono yang wafat saat menjalankan tugas di dalam pengamanan peringatan Konferensi Asia Afrika tahun 2005.







Boks:



Anggota tim Matematika Smandel 91/92:

Iko Pramudiono, Sigit Puspito Wigati Jarot, Sri Tigo Kencono, Mohamad Fajar Syahwali, Tanjung Puranto, Rizqy Indrawan, Antonius Dicky, Danu Sumitro, Teuku Rakhmat Indra, Denny Galant, Bobby Ariyanto, Erwin Rizkiano, Pamela Cardinale, Bembi Dwi Indrio, Yudhianto.

Saturday, September 27, 2008

betapa tidak adilnya dunia

betapa tidak adilnya dunia
: pantun-pantunan untuk laskar timbuktu

anak gue yang hari ini ulang tahun,
kok reri yang malah pesta di hanamasa cibubur?

marissa haque yang angkatan 81 deket om ian,
kok gue yang mesti wawancara sampe ngelembur?

oh tidak adilnya dunia,
betul tidak vini?
soulmate gue dalam mengukur jalan-jalan di selatan jakarta
yang macret (saking macetnya) sampai
"motor pun parkir di tengah jalan"
(gue nguping ucapan vini yang entah sedang ditelpon siapa, hahaha...)

dan gita apa kabar?
kapan kita bisa wawancara tante diana nw?
(pantunnya nggak nyambung amat, hehehe...)

buat om bowie yang ganteng
lu ditanyain pakde joko ketawang kapan mau mampir?
(makin nggak nyambung)

supaya pantun ini menjadi adil,
gimana kalau the o yang lanjutin?

empat kali empat enam belas
ada nggak ada ketupat yang penting ikhlas.

lima kali lima dua puluh
salah-salah kata mohon dibasuh.

minal aidin wal faizin
buang itu semua melamin dan toksin.

~a~






Dunia Tidak Adil,
kenape sehari cuman 24 jam

Tgl.26 Sept'08 hari-hari macet Jakarta parah
Seluruh mobil terkunci di jalan jakarta

Dari kantor aku di Pejaten menuju ke Dep.Keu Lap Banteng
4 km perlu waktu 1 jam, pas, didepan TMP Kalibata, Hey 'PahlawanKu Yg terbaring Disana" padamu aku mengadu bhw jalan jalan jakarta macet terus....

Mungkin Pahlwan tesebut menjawab..hey Ian Ramelan, Aku pahlwan yg membeku sudah bosan dengna orang-orang yang mengeluh dan EGP (Emang Gue Pikirin)....

Aku Pahlwan Sejati Di TMP Kalibata, lagi gundah karena film Nagabonar Jadi Dua...
hey Akmal...Kenapa enggkau suruh si Ngabonar berkata "Apakah yg dikubur di TMP Kali Bata adalah Pahlawan Sejati? Mungkinkah Disini ada Pahlwan Kesiangan, Pahlwan Korupsi dan Pahlawan Penghancur Bangsa"...Waduh takut ah..biar Akmal yg Jawab...

Dimacet jalan teringat janji sama Akmal mau nimbrung Bukber Puasa di rumah Marisa Haque.
Gimana ya sampai sampe di Tebet sudah macet 3jam, kalo nyusul ke Bintaro bukan Bukber malah Tidur Bersama he..he...

Akhir Buka puasa di Ayam mbok Berek atas usul Endang....
Pulang kerumah jam 11 malam tampah ada hsil...

Daun kelapa muda dibuat ketupat
Tanda-tanda mau lebaran.

Kata-kata tidak tetap terucap
Tingkah laku suka sembarangan

Mohon Maaf Lahir & Batin
Di Lebaran yang Fitri ini...

..IR..




Kalau ada sumur di ladang
bolehlah kita menumpang mandi
kenapa harus nyari sumur di ladang
emangnya kita nggak punya kamar mandi

Buah kuldi buah atep
Nggak mandi ......... tetep

Makan pecel jangan sambil berdendang (keselek tau!)
Lagi nungguin parsel dari bu de Endang

Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ketepian
Aduh, kasihan rakitnya hanyut

Pentungan karet buat mukul penjamun
daripada ribet mikir bikin pantun

Mendingan langsung-langsung aja

Selamat Idul Fitri
Kalian lahir bathin kami maafin
Maaf lahir bathin kami juga ya!

Chormen & the O

Monday, April 14, 2008

Mengenang 40 hari teman kita Danar'80

Teman-teman alumni Smandel tercinta,

Terlampir dua buah tulisan tentang alm. Danardono (angkatan 1980) / ketua panitia Festival 8. Tulisan ini dibuat oleh beberapa orang sahabatnya dalam rangka peringatan 40 hari berpulangnya almarhum.

Semoga tulisan ini bisa menjadi kenangan yang tidak terlupakan bagi yang pernah mengenal Danardono. Mudah-mudahan tulisan-tulisan ini dapat menggugah teman-teman lain yang juga memiliki kenangan terhadap Danar untuk menuliskan kenangannya dan mengirimkannya kepada kami.

Semua bahan tulisan yang telah dan akan masuk ke redaksi Tim Buku tentang almarhum akan diolah sebagai bahan tulisan "lembar obituari untuk Danar" dalam buku "50 tahun Smandel"

Salam,

Team Buku Panitia Festival 8








Dikejar Macan Gunung
(Pengalaman tak terlupakan bersama Almarhum Gindarto Danardono)


Aku kerap mendaki gunung bersama Danar dan Sulis, serta teman-teman Puapala yang lain. Persahabatan kami melintasi angkatan di Smandel. Selain Danar di angkatan Smandel 80 ada Yoyoi Nurul, Nina “Boy” Mamat, Anton, Avi, dsb. Smandel 81 selain diwakili Chormen ada juga Aria, Deden, Iriana, Erico, Ady, Agus, Fiera, Vivi, Pipin, dkk. Dan Smandel 82, ada Iyus, Daud, Umbul, Indra, Ade Rivai, Ibung, Hendra Pacet, dan seterusnya, selain Sulis.

Menembus ke angkatan yang lebih tua antara lain ada dr Chicho (Siswo, Smandel 74 atau 75, kalau tidak salah), kemudian dr Acing (Setia, Smandel 76), Okto, Ciwo, sampai ke angkatan 83 kemari. Ada Embong, Maman, Gopang, Yudis, Asep Kebo, Idhom, dan kawan-kawan, yang maaf aku tidak bisa ingat lagi satu per satu.

Persahabatan kami pun tentu saja jauh sekali dari batasan “demarkasi” anak IPA atau anak IPS. Kami masih terus bersahabat sekalipun telah lulus SMA, dan masing-masing dari kami sudah kuliah atau bekerja di lain tempat. Kekompakkan kami kemudian terjalin di EXPA, simpelnya merupakan singkatan dari eks Puapala, yang digagas dan dimotori sahabat kami, Danar.

Dulu, setiap bulan atau bahkan ada yang bilang hampir setiap minggu kami beraktifitas di alam bebas, mendaki gunung. Kami benar-benar bersatu meluangkan waktu, mencium aroma gunung dan tanah-basah pedesaan. Lambaian pakis dan tetumbuhan hutan. Kicau burung, pekik si amang dan suara-suara serangga, diimbangi gambar siluet pelangi di kejauhan. Masa indah yang benar-benar tidak terlupakan.

Perjalanan mencapai Cibodas di kaki gunung Gede-Pangarango, “taman bermain” kami ini ditempuh dengan beragam cara. Ada yang naik mobil omprengan, bis AKAP, atau ada pula yang bersepeda motor. Bahkan tak jarang diantara kami ada yang menumpang truk dari Cililitan menuju ke arah Puncak, Cipanas. Jika kurang duit, kami pun rela dan dengan riang gembira berjalan kaki dari simpang Cimacan ke Cibodas sejauh sekitar 5-6 Km.

Kelihatan maksa sekali ya, tapi itulah kami di saat itu. Perjalanan dan kenikmatan mendaki seperti tak ada yang bisa menandingi. Seperti kecanduan. Sekalipun sempat ada larangan bagi anggota Puapala dilarang mendaki gunung dari ibu Mariana, selaku Pembina Puapala, kami terus lakoni kegiatan ini. Namanya juga anak-anak, semakin dilarang membangkangnya semakin menjadi!


Awal Pendakian
Setelah semua berkumpul, kami tidak bisa segera mendaki. Mengingat kegiatan kami yang tidak memiliki surat ijin dari sekolah. Karenanya kami menunggu rombongan pendaki lain yang memiliki ijin pendakian. Persaudaraan sesama pencinta alam terbukti disini. Untuk mendapatkan “kuota” dari rombongan lain yang berijin, maka rombongan kami pun dipecah untuk bergabung dengan rombongan lain.

Biasanya aku bergabung dengan rombongan berikutnya. Jika tidak memungkin-kan, Danar juga akan ikut rombongan selanjutnya. Biasanya sekitar setengah jam kemudian kutemui rombongan yang telah berangkat lebih dahulu. Dan mereka memang sengaja melambatkan perjalanan untuk menunggu yang belakangan. Jadilah kami rombongan yang utuh. Kalau sudah begini tak ada lagi rasa capek dan sepi malam yang menggigit. Celoteh dan kejailan Danar mungkin yang paling dominan.

Ada syair lagu yang dia pelesetkan. Seperti lagu Bing Slamet, “Nonton Filem”, menjadi “Filem ada, tau-tau filem abis. Filem abis, tau-tau filem ada”, dengan syair itu-itu saja yang diulang-ulang. Sekali waktu dia menirukan suara komentator TV tersohor, Sambas, yang menyiarkan pertandingan bulu tangkis. Katanya, serve oleh Icuk Sugiarto. Icuk- Prakash, Icuk- Prakash. Icuk- Prakash. Icuk, Icuk, Icuk, Icuk... Nah lho? Ya, terang aja kata dia. Orang kok-nya ga dipukul ke seberang net oleh si Icuk, melainkan dia pantul-pantulkan sendiri di raketnya. Emang ada main badminton begitu?! Dasar Danar.

Sepanjang jalan yang ada ger-ger-an. Bersambung-sambung dan bergantian kami melawak, tak habis-habis! Perjalanan yang terjal mendaki, jadi tidak terasa lagi. Jika tiba waktu beristirahat setelah berjalan cukup lama, canda dan tawa akan bergema lagi.

Kemudian sampailah kami di Kandang Batu. Suatu tempat di pinggang gunung Gede- Pangrango, dimana terhampar batu-batu vulkano besar. Penampang batunya bisa untuk kami duduk, bahkan merebahkan diri. Ini merupakan bagian lembah yang cukup luas untuk kami membuka tenda atau bivak.

Di sini di suatu saat, Danar mendatangiku sambil berkata “Men, anak anak elo mau bawa kemana?” tanya dia.
“Gede” jawabku singkat.
“Kalau gitu gue jalan duluan ya Kita ketemu di puncak gunung Gede ya”

Rombongan kami pun beristirahat agak lama disini. Ada yang mendengkur, ada yang giginya gemeretak. Ada juga yang berbagi sarung, satu sarung dipakai tiga orang. Huuuuuuuuuuu, dingin sekali. Lima belas, tiga puluh menit kemudian kami jalan lagi. Melewati sungai air panas, yang mengobati kami dari rasa dingin. Sejurus kemudian kami sampai di Kandang Badak. Kubayangkan di tempat ini, biasanya Danar berinisiatif mengambil air jernih bagi persediaan masak dan minum kita semua. Mendaki sedikit dari sini kita akan ketemu sadel, gigir pegunungan, yang menjembatani gunung Gede dengan gunung Pangrango.

Dikejar Macan Gunung
Seperti biasa aku dan Aria, saudara kembarku, demikian banyak orang berkata, berangkat belakangan. Tugas kami menyapu teman-teman yang ketinggalan.
Teman yang kami temui pertama ya teman perempuan. Gadis-gadis manis. Tapi itu dulu... Sekarang mereka sudah jadi emak-emak semua, sebab kami pun sekarang sudah jadi bapak-bapak.

Kalau sudah begini, capenya naik gunung mulai terasa. Terjal lereng gunung semakin tidak bisa diajak kompromi. Baru beberapa langkah biasanya kami harus istirahat untuk mengumpulkan tenaga lagi untuk menyongsong tanjakan yang di depannya lagi. Biasanya kami akan saling memberi semangat. Beri target jika sepuluh langkah baru boleh beristirahat. Atau, menghitung “Satu, dua, ti.......ga........., istirahat ach”, dan seterusnya.

Dalam suasana itu tidak lupa kami terus bercanda dan cela-celaan. Sesekali melintas bau belerang dari kawah gunung Gede. Aroma yang khas dan terkadang membuat kami rindu. Ini adalah tanda sebentar lagi kita akan tiba di puncak gunung Gede.

Tentu Danar sekarang sudah sampai di puncak, atau sedang menunggu kami di lembah Surya Kencana menikmati keindahan dan keharuman Edelweis, si bunga abadi di habitat asli.

Ada Danar berarti mulai rame lagi. Celoteh dan lawakannya keluar spontan. Sebagian yang masih kuingat:
“Rumah apa yang bisa bikin panas, jawabannya rumahson”
“Sandal apa yang bisa ngilangin haus, green-sandal jawabannya”

...Tapi kok tiba tiba Danar muncul di belakang... Sulis terlihat sedikit bingung dengan keberadaan Danar yang tiba-tiba. Begitu juga sebagian besar dari kami. Supaya tidak penasaran biar aku yang menanyakan...
“Nar, kok ada di belakang...Bukannya tadi ente jalan duluan ke puncak Gede?”
“Ya Men, gue berangkat duluan tapi ke Pangrango dulu abis gitu gue langsung menyusul kalian ke sini” katanya enteng.

Ini artinya... Danar dari Kandang Badak ke Pangrango, naik tanjakan yang terjal dan panjang, ketemu Mandala Wangi tempat Gie berpuisi, terus langsung turun lagi ke Kandang Badak, naik sadel Gede-Pangrango, untuk bisa menyusul kami. Bukan main...

Bukan sekali dua kali saja kami mendaki dikejar oleh macan gunung, sebab Danar itu si macan gunungnya.


Untuk Dani (juga Daven, Naya)
Hari Selasa kemarin, di awal April ini aku jemput Wicak di SMPN 216, Jakarta. Satu sekolah dia dengan kamu. Anakku itu kamu tahu kan, duduk di kelas 8, sedangkan Dani kelas 9. Dari kejauhan aku lihat Dani, mencangklong tas warna merah. Ah, terbayang lagi sosok Danar semasa kami bersekolah dahulu. Alangkah cepatnya waktu, dan sekiranya dia dapat diputar kembali...

Dani, jadilah selayaknya Gindarto “Macan Gunung” Danardono yang tak gampang menyerah. Seperti ketegaran dan ketenangan Almarhum saat mengetahui telah mengidap kanker Paru-paru stadium 4, sebab kamu sekarang adalah tumpuan asa bagi Ibu dan adik-adik. Sedang, masa depan masih jauh terentang.

Dani, Daven, dan Naya (juga mbak Nita, isteri tercinta Danar)...
Sungguh dalam menulis ini kami masih merasa sangat berduka. Serasa dia masih ada. Waktu memang kelewat singkat, tapi hidup tidak berarti kejam. Jalannya telah digariskan oleh Allah SWT. Kita hanya tinggal menjalaninya saja. Seperti gemericik air di sungai Gede-Pangrango, tempat Danar biasa mengambil persediaan air bersih- jernih untuk kita semua.

Tulisan ini sama sekali tidak akan mungkin menggantikan ayah tercinta kalian. Cuma sekedar cara kami untuk mempersembahkan kenangan kepada seorang sahabat terbaik yang pernah ada. Ketulusan ucapannya selalu disertai kesungguhan tindakan.

Yakin kami sekarang... Danar sedang tersenyum dalam pelukanNya. Seyakin kami pula bahwa dia, si Macan Gunung, akan selalu ada di hati kita semua.


Aku,
Chormen-Sulis
(diedit oleh Endang sebagai bahan lembar obituari pada buku 50 th SMAN 8 Jakarta )








Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan
( KAHLIL GIBRAN )


Kenangan kepada Danar adalah sebuah keragaman...
Bisa serius… becandaan… balik lagi serius… guyonan…tanpa beringsut pada fokus ajakan untuk selalu berbagi...

Ajakanmu selalu mengena...dari masa-masa kita SMA hingga masing-masing dewasa berkeluarga; lantaran didasari keyakinanmu yang tulus, sehingga kami mau saja manut. Bukan sebab takut, tapi lebih cenderung karena kharisma seorang Danar...

Maka jadilah kita, tulis seorang teman, memasak sop rumput di bekas unggun tempat semalaman-suntuk kita bercengkrama ditemani dingin gunung...

Maka jadilah kita kemping sekeluarga sebagai family camp, yang menautkan kembali silaturahim...bukan sekedar kawan dengan sesama kawan, tapi keluarga dengan sesama keluarga...

Sungguh luar biasa warisanmu…Sahabat ku rindu...

Maka jadilah kita berjibaku dengan banjir di Kampung Melayu hingga kawasan Jakarta Utara, demi menolong sesama...

Pengobatan dan sunatan masal pun hampir tak terbilang jumlahnya...
Ada juga jalan santai bertolak dari bilangan Kuningan sampai ke Bukit Duri, ke bekas almamater SMANDEL...yang tak pernah hapus dari ingatanmu, dari ingatan kita...

Dan… sekarang kau tau… Begitu pula sebaliknya... kami dan almamater tak akan pernah lupa sosok mu...Danar...

Salam eo eo enak tenan,
Dari mulai menyanyikan lagu-lagu sederhana yang kau dirigennya, dengan setiap baris syair yang diakhiri dengan kata “Zet!”, atau...

Lagu “gila” yang diulang-ulang, “filem ada, tau-tau filem abis,” sambil kau mainkan gitar tiada putus, hampir sepanjang hingar-bingar api unggun demi api unggun yang kita lalui bersama...

……………………………………………………………………………………………………………………………

Semakin malam redup, ketika ufuk dan bukit mulai merona-merah,
Semakin usia kita beranjak, petuah dan kata bijak Danar yang lebih kentara...

Slogan bukan berarti slogan, sebab selalu diimbangi dengan keteguhan ‘tuk diwujudkan, melalui EXPA yang kau bidani, pun berupa organisasi lainnya...

Musibah tsunami Aceh menjadi saksi... Lobby-mu dan kita semua...dengan teman yang Danlanud di Halim Perdanakusuma, memungkinkan EXPA terangkut Herkules tiba pertama di Serambi Mekah, yang di penghujung tahun itu lagi nestapa…

Database pengungsi untuk badan dunia Unicef pun menjadi salah satu karya kita...

Sesungguhnya nama kita sudah mulai bergaung megah, mungkin juga men-dunia...
Ini bukan untuk kesombongan atau apa... hanya untuk buktikan komitmen kita kepada sesama...

Salam cucur tembem,
Setelah EXPA cukup berjaya, wacanamu ingin mempersatukan kita dalam sebuah wadah Ikatan Alumni SMAN 8 Jakarta – IA SMANDEL...

Bukanlah Danar kalau ide semata, FestiVal8 digelarnya...
Serentak alumni terbangun…tergugah, bagi sumbangsih 50 tahun Smandel:
“Berbagi ‘tuk Semua”… Jargon yang selalu kau buktikan, bukan ucapkan semata...

Baru saja terhelat acara perdana, engkau sudah tiada...
Seperti waktu kita lagi kemping… di tengah meriah api unggun... tau-tau kamu pergi, tapi kali ini...tak kembali-kembali lagi...

Kemudian hanya tinggal tanya… bisakah kita teruskan spiritmu?

Selamat jalan Gindarto Danardono, Ketua FestiVal8…
Selamat mendaki dan teruslah mendaki si anak gunung, sobatku yang terbaik...

Yakinku kini engkau t’lah bahagia di tempat tertinggi di haribaan Sang Kekasih...
Erat dalam dekapan Allah SWT, Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…

Sahabatku Danar…energi dan amanahmu akan terus kami pedomani...
Ikhlas dan doa kami mengantarmu...
Sampai kita bertemu lagi nanti di perkemahan nan abadi,
dalam kesejukan Ilahi...


Jakarta, 13 April 2008


Dalam kekhusukan doa dan kerinduan kepadamu, selalu…