Tuesday, November 11, 2008

Menyemai angin menuai badai

Dihapus untuk sementara

Jedung ....... jedung .......... jedung

Namanya juga anak SMANDEL yang nggak bisa ngeliat kamera nganggur, waktu photo session peminatnya buanyuak buangeut, beberapa hari setelah selesai acara ada yang ngirim sms kalau angkatannya punya 6 pasang pasutri, nggak jelas cuma laporan atau minta difoto, ada juga yang telpon bilang kalau si penelpon punya anak kembar di SMANDEL, nanya boleh nggak motret sendiri terus dikirim untuk dimasukkan ke Buku 50 tahun SMANDEL, dengan sangat menyesal permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi.

Waktu gue jalan melewati lapangan upacara saat photo session gue lihat ada kamera di lantai 2, nggak jelas tustel atau CCTV, waktu gue bergaya Rini dateng ikutan bergaya, nggak berhenti sampai disitu Reri yang melihat nggak mau ketinggalan diapun berlari jedung ..... jedung ... jedung ........... dan bumipun bergetar jadilah foto bertiga.

Lagi enak-enaknya bergaya bertiga, bumi bergetar lagi jedung ..... jedung ...... jedung ....... ternyata Bowie berlari ikutan bergabung, berempat sudah dan tiba-tiba berlima tanpa tanda-tanda bumi bergetar ternyata Akmal bergabung dengan menerapkan ilmu kung fu, larinya jinkang yang terjemahan bebasnya jinjit sambil ngangkang.


Dari buku muka alias facebook:

Bowie "ini beda angkaan semua lho...., Akmal 86, Reri 92, Chormen 81, gue 87, Rini 84.. hebat ya smandel united"

Rini Mulyawati "... just in time!"

Crista yang melihat tapi nggak bisa bergabung hanya berkomentar di facebook "huh... gue lagi megangin 2 printilan, pada foto2 deh..."

Akhirnya keluarlah ide untuk foto bersama membentuk formasi 50, melambangkan usia setengah abad sekolah tercinta, mau lihat fotonya yang bagus itu, datang aja ke Reuni Emas SMANDEL sekalian beli bukunya yang dicetak terbatas.

Salam jedung, jedung, jedung

Monday, November 10, 2008

Black or white

Setelah photo session berakhir untuk kakak beradik, pasutri dan orang tua anak yang bersekolah di SMANDEL, laskar timbuktu berencana melakukan foto bersama di sebuah studio di bilangan Pasar Minggu. Supaya seimbang, setelah memotret teman-teman giliran tim buku yang bergaya.

Vini memberikan penjelasan singkat bahwa foto di studio hari Rabu 5 November jangan menggunakan pakaian berwarna putih atau hitam karena paling nggak oke hasilnya. Kalau pakaian putih kasihan juru fotonya karena difotonya harus sendiri-sendiri nanti baru digabung supaya detailnya bisa terlihat jelas, mengerjakannya bisa dua hari.

Ketika foto bersama dengan pakaian kasual, yang ada mereka pada mengenakan blus putih semua kecuali gue dan Crista, seolah-olah kami berdua yang saltum alias salah kostum, biar deh saltum asal ikutan difoto.

Setelah itu bergaya dengan pakaian formal, lagi-lagi gue saltum semua lelaki menggunakan jas warna hitam, ontje more biar saltum yang penting ikut difoto.
Kok jadi begini sih, jangan menggunakan pakaian berwarna putih dan hitam malah mereka melanggarnya. Selidik punya selidik kelihatannya sih kecuali Crista, yang lain pada buta warna.

Mau lihat foto-fotonya, datang aja ke Reuni Emas SMANDEL dan jangan lupa untuk beli Buku 50 tahun SMANDEL

Wednesday, November 5, 2008

eternal sunshine of the smandeler's mind

sejak sabtu malam (1/11) ketika laskar timbuktu -- ini sebutan reri buat tim buku -- menggelar rapat terakhir persiapan pemotretan alumni pada minggu pagi, yang dikhawatirkan cuma satu hal: gimana kalau hujan, dan lama?

bisa bubar semua rencana.

padahal respon alumni buat difoto sungguh di luar dugaan.
padahal tiga fotografer handal tim buku (vini, bayu, dan om jul) sudah sangat antusias.
padahal bowie sang p.o. pemotretan sudah merancang ini itu ...

alhamdulillah pagi datang dengan cerah.
satu persatu alumni datang (sampai para fotografer harus "overtime") karena baru ada yang muncul ... jam 4 sore! jumlah alumni yang melakukan registrasi sekitar 100-an orang menurut reri.

ternyata lumayan banyak pasutri smandel, apalagi dua generasi ortu-anak, apalagi
yang bersaudara ...

sehingga membuat om chormen yang menjadi pengarah gaya dadakan (kadang lebih bergaya ketimbang yang difoto, hehehe...) jadi bersemangat sekali di lapangan. kelinci alkaline aja kalah aktif dari om ganteng ini.

alhamdulillah hujan nggak turun setetes pun di pagi-siang-petang yang ternyata bertepatan dengan ulang tahun si cantik anaknya bimo-dea ('86), sehingga pada nyanyi selamat ulang tahun di lapangan yang terik.

pikiran para alumni yang tetap optimistis, seperti cerlang mentari yang membuat segala hal menjadi hangat, untungnya bisa membuyarkan banyak kecemasan yang sempat bergayut di kepala bowie.

dan sambil pulang setelah pemotretan, di telinga gue yang berdenging cuma gema suara axl rose belasan tahun silam:

so never mind the darkness, we still can find a way
'cause nothing lasts forever, even cold november rain ....

malemnya baru beneran turun hujan. november rain.

thanks buat para alumni yang sudah meluangkan hadir di pemotretan kemarin.

~a~

Saturday, November 1, 2008

I LOVE THIS GAME! (AND SMANDEL, OF COURSE)

Syahrizal Affandi*

Angkatan 1992



Saya belajar di SMAN 8 Jakarta tahun 1989-1992, dengan pengalaman di lapangan basket sebagai salah satu pengalaman yang paling bermakna. Saya dan tim basket Smandel berbangga hati karena kami mampu menumbangkan raksasa-raksasa basket SMA di Jakarta saat itu seperti SMA 3, SMA 70, atau SMA PSKD yang sedang berjaya.

Turnamen antar sekolah begitu ramai, baik frekuensi pertandingan atau jumlah penonton, sehingga kami bisa mengikuti dua turnamen d alam waktu bersamaan. Bagi saya ini membanggakan karena citra Smandel sebelumnya yang hampir selalu diidentikkan sebagai sekolah yang ‘belajar melulu’ dan ‘culun’.

Mau bukti? Di awal era 90-an itu tawuran sekolah hampir tiap hari terjadi di seluruh pelosok Jakarta . Satu ketika kami harus pergi bertanding di GOR Bulungan, Jakarta Selatan. Di terminal Blok M kami dihadang oleh segerombolan murid dari SMA lain. Mereka berteriak lantang sambil petantang-petenteng , “Anak mana lu?”. Dengan beringas mereka mendekati kami, mungkin mau menantang berkelahi. Tapi begitu melihat nama lokasi di seragam kami, ajaib, mereka membatalkan niat dan ngeloyor pergi sambil mengejek. “Ah, anak 8 yang culun. Pergi aja deh lu!”.

Mungkin mereka berpikir “nggak level” kalau harus berkelahi dengan anak-anak Smandel. Itulah sedikit citra Smandel saat itu (atau jangan-jangan sampai sekarang?). Namun itulah yang membuat tim basket Smandel terlecut untuk membuktikan bahwa kita juga punya “otot” untuk berprestasi, bukan cuma punya “otak”.

Ini terjadi dalam satu kejuaraan penting antar SMA yang diadakan oleh RCTI. Di semi final Smandel berhadapan dengan favorit juara, SMA 3 Jakarta. Saat itu Stadion Hall B Senayan dipenuhi supporter SMA 3. Hampir semua kursi diduduki anak-anak SMA 3 kecuali satu sudut kecil yang hanya berisi … 10 orang anak Smandel! Bisa dibayangkan bagaimana besarnya tekanan yang kami rasakan.

Pertandingan berjalan tak seimbang. Dari menit ke menit kami selalu tertinggal dalam perolehan angka. Namun kami berusaha agar terus mendekati, agar tidak ketinggalan jauh dalam pengumpulan poin. Akhirnya sampailah pada 10 detik terakhir di mana Smandel tertinggal 1 poin, namun sayangnya bola ada di tangan lawan. Satu saja tembakan mereka yang berhasil akan membuat seluruh upaya kami sia-sia. Saya yakin seluruh anggota tim Smandel dan penonton saat itu sudah membayangkan kami akan pulang dengan wajah lunglai.

Satu tembakan jarak dekat dilayangkan oleh seorang penyerang lawan. Habislah Smandel! Oops, luput, tembakan itu gagal menjadi poin! Muntahan bola menuju ke arah saya seperti diantarkan langsung oleh Dewi Fortuna. Saya berlari kencang sekali, bertarung melawan detik-detik yang hampir habis.

Saya sudah tak mendengar lagi teriakan penonton, kecuali menatap lekat ke arah ring basket yang masih cukup jauh di depan mata. Saya melayang mendekati ring, melepaskan bola, dan masuk! Stadion langsung terdiam, kecuali oleh jerit 10 orang penonton dari Smandel itu. Sebuah sejarah tercipta: SMA 3 sang favorit juara ditaklukkan oleh SMA ‘culun’ yang pekerjaan muridnya cuma ‘belajar melulu’.

Kemenangan sensasional di semi final ini menjadi tambahan motivasi yang luar biasa bagi kami sehingga terbawa ke pertandingan final, di mana Smandel akhirnya menjadi juara 1 RCTI Cup setelah menekuk SMA 70, yang saat itu lebih dijagokan. Seluruh anggota tim berpelukan dengan Pak Ugi, guru olah raga yang juga menjadi pelatih kami. Kami menangis terharu, antara percaya dan tidak percaya bahwa hal ini bisa terjadi: Smandel bisa jadi juara basket!

Dampak kekalahan SMA 3 di semi final ternyata fatal. Saya mendengar bahwa tim basket mereka tidak diperkenankan sekolahnya untuk bertanding selama 6 bulan. Mungkin mereka diharuskan menjalani penggodokan luar biasa untuk tidak mengalami peristiwa ‘memalukan’ seperti itu lagi. Tapi lagi-lagi nasib berkata lain.

Setelah 6 bulan berlalu, uniknya tim SMA 3 dan tim Smandel bertemu kembali dalam satu penyisihan turnamen. Karena Smandel sudah masuk unggulan, sedangkan SMA 3 tidak, maka kedua SMA bertemu di awal pool. Kali ini terbukti, kemenangan Smandel setengah tahun sebelumnya bukan sekadar kebetulan karena kami kembali bisa memenangi pertarungan ketat dengan 2 poin.

Karena prestasi tim basket Smandel, upacara bendera pada setiap Senin yang biasanya didominasi dengan majunya anak-anak bidang sains untuk tampil ke depan lapangan karena kemenangan mereka di berbagai kejuaraan, mulai mengalami sedikit variasi. Tim basket Smandel mulai sering dipanggil untuk maju di depan peserta upacara oleh kepala sekolah Pak Nurdin Amir. Bagi saya ini sangat membahagiakan.

Namun sedihnya, prestasi ini nyaris tak terulang lagi. Yang saya dengar, sampai angkatan sekarang belum pernah lagi tim basket Smandel mampu menyamai prestasi tim tahun-tahun awal 90-an itu. Mungkinkah akibat perhatian dan dukungan sekolah tidak lagi didapat tim basket seperti dulu?

Saya sering iri melihat sekolah-sekolah bagus di luar negeri maupun sekolah internasional di sini menyiapkan sarana dan prasarana olahraga yang sangat bagus bagi siswanya. Juga bagaimana para siswa diberi persyaratan nilai akademis minimal jika ingin terus bergabung dengan tim olahraga di sekolahnya.

Saya pribadi telah merasakan manfaatnya hingga saya bekerja sekarang. Selain menorehkan prestasi di lapangan basket, saya juga mendapat beasiswa hingga mendapat gelar MM-UI, dan keluasan networking dengan para pelaku bisnis besar. Kadangkala ketika bertemu dengan pihak lain untuk urusan bisnis, topik basket menjadi ice breaker pembicaraan.

Pada kesempatan Ulang Tahu Emas Smandel (1958-2008) ini, saya mendorong Smandel untuk memberikan tempat dan dukungan yang setara bagi kawan-kawan yang aktif di bidang olahraga, seperti halnya dukungan berlimpah yang diberikan kepada kawan-kawan yang bergerak di bidang sains.

Saya ingin seluruh warga Smandel, terutama para pelajar yang masih menimba ilmu saat ini, bisa sama bangganya ketika berkata: “I love this game. And I love Smandel, too.”



* Syahrizal ‘Jali’ Affandi setelah lulus dari Smandel menjadi pemain profesional Liga Basket Indonesia