Oleh: dMoNo ‘79*
Mahasiswa angkatan 1970-an memang bukan kelompok pertama yang membentuk gerakan melawan pemerintahan. Tetapi dengan idealismenya yang tinggi dan semangat menggebu, mereka seakan menjadi kekuatan moral yang selalu berusaha mengoreksi segala bentuk penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu penyimpangan itu dilakukan dengan sangat gamblang oleh Orde Baru, rezim yang awalnya justru sangat diharapkan sebagai motor perubahan menuju Indonesia yang lebih modern. Namun dalam perjalanannya, mantan Presiden Soeharto justru membuat banyak kebijakan yang sarat bermuatan KKN yang membuat mahasiswa gerah.
Dalam upaya meredam aktivitas politik mahasiswa yang mulai menunjukkan pembangkangan terhadap Orde Baru, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan untuk mensterilkan kampus dari kehidupan politik.
Salah satu peristiwa yang berkaitan dengan SMAN 8 dalam konteks NKKBKK terjadi pada medio April 1978. Saat itu terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Peserta demonstrasi bukan saja mahasiswa Universitas Indonesia dan kampus-kampus lainnya di ibukota, tetapi juga melibatkan siswa Sekolah Menengah Atas yang dikoordinasi oleh IKOSIS (Ikatan OSIS) Jakarta. Sejauh ini, hal itu masih belum mengganggu aktivitas belajar di SMAN 8.
Awalnya, kami para siswa sangat tidak antusias untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi yang digalang IKOSIS Jakarta. Tetapi kemudian muncul ancaman dari mereka. ”Bila SMA 8 terus tidak ikut demo, kami IKOSIS Jakarta akan menyerbu Taman Bukit Duri.” Kira-kira begitulah kabar yang beredar.
Alhasil koordinasi internal pun dilakukan pengurus OSIS dengan pengurus PUAPALA. Hasil kesepakatan adalah SMAN 8 akan ikut melakukan demo, tetapi hanya sebatas area sekolah. Tidak diperbolehkan ada yang keluar, kendati beberapa rekan telah berada di Salemba. Maka dalam waktu singkat bertebaranlah poster-poster dan spanduk di seluruh dinding sekolah yang isinya menentang diberlakukannya konsep NKK/BKK.
Pada hari kedua, demo masih berjalan tertib. Setiap siswa SMA 8 -- mayoritas dari kelas 2 dan 3 – yang ikut demo mengenakan pita warna hitam yang dipasang di lengan. Memang tidak semua siswa bersedia ikut demo. Tetapi itu tidak masalah, karena memang tidak diwajibkan. Mereka yang tidak ikut demo hanya menonton rekan-rekannya melakukan orasi di lapangan basket.
Namun tanpa diduga sama sekali, datanglah dua truk ABRI (kini TNI) mendatangi SMA8 dan sepasukan tentara baret hijau tahi ayam, mungkin dari Arhanud, turun dengan sigap dari badan truk dan langsung mengepung SMAN 8. Dengan dengan mata merah tanpa ekspresi sebagian dari mereka langsung mendobrak masuk melalui pintu dekat kantin pak Okher, membuat para siswa panik.
Tak berapa lama sang komandan juga masuk dan dengan suara keras meminta kami untuk mencopot semua poster, spanduk, foto-foto serta segera menyerahkan semua kamera. Bentakan prajurit terdengar di mana-mana. Meski diliputi rasa takut, namun kami menolak perintah itu dan berusaha mempertahankan semua poster dan spanduk tetap berada di tempat masing-masing.
Penolakan para murid SMAN 8 itu barangkali tak pernah dibayangkan para tentara, sehingga membuat mereka makin marah. Sang komandan menginstruksikan kepada anak buahnya untuk menggiring kami menaiki truk ABRI.
Tak bisa lagi menolak, akhirnya satu persatu kami menaiki truk dengan gemetar dan ketakutan entah akan dibawa kemana. Dalam suasana yang menegangkan karena suara-suara keras para tentara, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat nyaring. Begitu nyaringnya sehingga membuat semua orang terdiam mendengar perkataannya.
“Turunkan anak-anakku dari truk! Kami akan patuhi perintah!”
Saya menoleh ke belakang, ternyata suara itu muncul dari ibunda tercinta Dra. Hilma Dahnir, kepala sekolah SMAN 8. Meski suaranya keras, saya lihat matanya berkaca-kaca, dan beliau lalu bernegosiasi dengan komandan pasukan. Akhirnya “perintah” bu Hilma dipatuhi tentara. Satu persatu kami kembali diturunkan.
Ada satu insiden kecil ketika seorang murid yang turun dari truk, saya lupa namanya, menggerutu sambil mengomeli ABRI. Tiba-tiba saja, tap!, popor senjata seorang prajurit mampir di tubuhnya yang membuat murid itu terdiam. Untung bukan kepalanya yang dihajar. Konon, belakangan beredar kabar bahwa prajurit yang ditugaskan menyerbu SMAN 8 baru saja kembali dari tugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste – red), dan belum sempat kembali ke markasnya. Kabarnya lagi, mereka juga disuntik agar tidak mudah lelah dan menjadi beringas dalam bertugas. Entah suntikan jenis apa.
Selain insiden truk yang akhirnya justru menunjukkan aksi heroik ibu Hilma Dahnir, murid-murid yang memilih masuk ke dalam kelas juga seperti sepakat melakukan aksi bisu. Tak ada seorang pun yang bicara, sehingga suasana kelas sangat lengang, selain tegang. Beberapa saat kemudian para prajurit yang “bertugas” di SMAN 8 itu ditarik kembali, sehingga suasana sekolah untuk sejenak kembali tenang. Ternyata kami diliburkan selama dua hari, dan SMAN 8 dijaga aparat.
Tapi hal itu belum berakhir. Meski sekolah kini sudah bersih dari poster dan spanduk, ternyata pencarian terhadap pemasang poster, spanduk dan yang mengambil foto-foto demonstrasi terus dilakukan aparat, bahkan melibatkan sejumlah intel. Isu penangkapan/penculikan terhadap siswa tertentu akhirnya tersebar luas dan, ini yang membuat kami takut luar biasa, karena kabarnya akan dilakukan dengan paksa. Bahkan dengan penculikan bila perlu.
Isu ini juga punya dampak lain, yaitu munculnya kecurigaan antarsiswa terutama terhadap siswa-siswa yang diduga sebagai intel. Pengeroyokan terhadap salah seorang siswa hampir saja terjadi pada satu hari, karena kuat dugaan teman-teman bahwa siswa itulah yang selalu mencari informasi tentang siapa saja para pemasang poster dan spanduk di sekolah. Untunglah keributan yang lebih parah berhasil dicegah.
Kekhawatiran itu membuat sebagian dari kami tidak berani kembali kembali ke rumah, takut akan diciduk petugas. Sepulang dari sekolah kami sembunyi di sebuah villa di daerah Cibulan. Uniknya, ada juga yang malah sembunyi di Bandung. Saat itu jarak Jakarta-Bandung lumayan jauh, jangan bayangkan dengan kondisi sekarang dengan adanya jalan tol Cipularang yang membuat kedua kota hanya berjarak 2 jam perjalanan.
Tidak ada yang paling berkesan bagi saya dari saat demo-demo itu terjadi di SMAN 8 selain kekompakan antarsiswa, guru, dan terutama keberanian kepala sekolah Ibu Hilma Danir yang luar biasa. Kami pun lulus tahun 1979 setelah mengalami perpanjangan waktu selama enam bulan. Kami juga yang menjadi generasi terakhir dari murid SMA yang memakai seragam putih biru.
Era NKK/BKK sendiri akhirnya dinyatakan usai setelah Prof. Dr. Fuad Hassan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Daoed Joesoef.
dMoNo adalah nama panggilan Dwi Pramono, alumnus Smandel angkatan 1979.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment