Wednesday, October 29, 2008

photo session

terima kasih buat respon kawan-kawan alumni,

buat memudahkan reri dalam pengaturan pemotretan nanti, mohon dikirimkan data:



------------ --------- --------- ---

1. nama lengkap & angkatan di smandel (wajib)

2. profesi/aktivitas sekarang (optional)

------------ --------- --------- ------



dari alumni yang akan difoto. data dikirimkan ke: buku_smandel@ yahoo.com



atau sms ke reri wulandari ('92), sekretaris tim buku smandel : 0816.1869 124



atau bowie ('87), p.o. pemotretan di: 0812 9579 623



salam,



~a~



malu difoto, sesat di buku kenangan (halah!)

YANG BIASA, YANG BERJASA

SIAPA “pemilik” SMAN 8 yang sebenarnya? Jangan lupa, sekolah hebat ini bukan hanya milik para kepala sekolah, guru-guru, murid, atau staf administrasi saja. Di luar itu masih ada sederet nama yang menyokong mulusnya proses belajar mengajar. Entah karena layanan kebersihan mereka yang prima, suasana keamanan yang terjaga, atau jajanan yang mereka jual sebagai pemasok stamina.

Editor Buku 50 Tahun Smandel, Chormen, menelusuri sejumlah nama 'orang biasa' yang berkiprah luar biasa bagi perjalanan sekolah tercinta. Sebab ketika kepala sekolah, guru, atau para murid, datang dan pergi, 'orang-orang biasa' ini tetap berbakti di lingkungan Taman Bukit Duri. Inilah profil singkat beberapa di antara mereka.



OHER, 81 tahun

Mantan penjaga sekolah



Setiap komunitas memiliki living legend-nya masing-masing. Di lingkungan SMAN 8, predikat bergengsi itu layak diberikan, salah satunya, kepada Oher bin Itdlasim. Mau tahu apa sebabnya? “Saya kerja di SMA 8 sejak tahun 1965 ketika sekolah ini masih numpang di SMP 3,” kata lelaki yang masih terlihat masih gagah dan kuat itu. Nah! Siapa lagi yang bisa melewati “rekor” seperti itu, coba?

Setelah 31 tahun bertugas, Pak Oher pensiun pada 1996. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah ketika satu saat perjudian sedang marak-maraknya berlangsung. Sebuah pohon besar yang kini dijadikan kantin sekolah selalu dipenuhi berbagai jenis sesajen setiap malam Jumat. Apakah pengalaman ini membuat ngeri sang penjaga sekolah? Tidak sama sekali, saudara-saudara. “Soalnya begitu suasana sepi, semua rokok, makanan, dan buah-buahan di sesajen itu saya yang nikmatin,” katanya terkekeh-kekeh.

Kini salah seorang putra Pak Oher menjadi Wakil Kepala Sekolah SMAN 49. Para tetangganya memanggilnya “Pak Haji” setelah rukun kelima ia tunaikan beberapa tahun lalu. Itu juga salah satu peristiwa yang berkesan karena saat “gelar” haji didapat, “Saya justru harus rela melepas istri saya meninggal di tanah suci,” katanya. Untuk sesaat, binar di matanya terlihat meredup. Tapi ketika obrolan kembali menyangkut SMAN 8, nyala itu kembali berkobar.

Terima kasih atas segala pengabdianmu, Pak Haji Oher.





PIL KOLIN, 54 tahun.

Pedagang teh botol



Nama aslinya Yono. Nama bekennya diberikan anak-anak Smandel karena tampangnya yang (dianggap) mirip dengan vokalis Genesis, Phil Collins. Entah siapa yang memulai panggilan yang sekarang melegenda itu, karena tak pernah ada yang mendaftarkannya sebagai hak paten.

Sejak kapan Yono, eh, Pil berdagang di lingkungan SMAN 8? “Sejak jaman Marissa (Haque),” katanya. Itu artinya, bagi para alumni yang belajar di SMAN 8 sebelum tahun 1979, jelas tidak pernah bertemu Pil. Sekarang, lelaki berusia 54 tahun ini ditunjuk sebagai koordinator kebersihan di kantin sekolah yang diisi 12 pedagang.

Enak mana berdagang jaman dulu dengan sekarang, Pil? “Enakan dulu, bisa sampai 100 krat sehari. Apalagi kalau ada class meeting atau ada yang ngeband,” katanya. Sekarang, menurut Pil, persaingan sangat ketat sehingga penjualan tak selaris dulu. Apakah itu berarti class meeting atau festival band di SMAN 8 sekarang ini anjlok juga jumlahnya?

Pil tak menjawab. Itu karena Buku 50 Tahun Smandel juga tak menanyakannya.



TWINIARSO & TWINIASTO, 46 tahun

Tukang parkir



Kalau di komik Tintin ada detektif kembar Thompson & Thomson, di dunia musik pop Indonesia ada Alex & Jacob Kembar Group, maka di lingkungan SMAN 8 juga ada kembar identik Arso dan Asto, yang bekerja dari 1980-1991. Karena kembar, banyak juga peristiwa lucu yang terjadi. Yang memarkirkan mobil sebetulnya Arso, eh, yang dapat duit malah Asto. Atau sebaliknya. “Selain sebagai tukang parkir, kami dulu juga ‘merangkap’ sebagai preman,” kata Arso mengungkapkan masa lalunya.

Sejak pensiun dari dunia ‘secure parking’ di lingkungan Smandel, keduanya mengambil jalan profesi berbeda. Asto menjadi pekerja kantoran. Arso memilih pekerjaan yang lebih ‘enak’ dengan sering membawa cewek cantik, kadang-kadang istri orang, yang bersedia memeluk pinggangnya. Maklum, dia sekarang menjadi tukang ojek yang mangkal di depan sekolah.

Tapi untuk soal preman ini, sebetulnya sudah tidak perlu dibahas lagi. Karena saat wawancara berlangsung, Arso justru dengan sopan mengingatkan. “Maaf mas, sudah mau sholat Jum’at.”

Rupanya masjid sudah masuk ke dalam daftar “jadwal parkir” Arso sekarang. Alhamdulillah.





SUWARNO, 60 tahun

Satpam



Bertugas sebagai penjaga keamanan sejak 1994, dari mulut Suwarno justru lebih banyak keluar tentang kisah 'dunia lain' ketimbang problem keamanan di sekolah, apalagi informasi yang lebih rinci tentang dirinya. Salah satunya seperti ini. “Saya sering banget lihat seorang perempuan tua turun dari tangga *** (sengaja tidak dilengkapi – red). Rambutnya panjang warna putih, memakai baju warna ungu,” katanya seolah-olah sedang membawakan sebuah tayangan mistik di televisi.

Secuil informasi yang muncul tentang hidupnya justru menyangkut banjir. “Kalau di sekolah sudah banjir semata kaki, berarti di rumah saya sudah banjir seleher,” katanya. Usut punya usut, ternyata rumah Suwarno di kawasan Kampung Melayu yang lebih rendah lokasinya dari SMAN 8.

Cuma tidak dijelaskan apakah kalau sudah banjir begitu, dia lebih suka menjaga rumah atau menjaga sekolah.



DARMIN, 29 tahun

Satpam



Tiga tahun setelah Suwarno bekerja sebagai penjaga keamanan di SMAN 8, masuklah Darmin yang saat itu masih berstatus jomblo. Entah terpengaruh oleh gaya bercerita sang senior, yang meluncur dari mulut Darmin adalah kisah-kisah sejenis. Misalnya bagaimana ketika pada satu malam saat ia tidur di salah satu lokasi di SMAN 8, salah satu makhluk halus memeluknya dengan kuat dan menindihnya sampai ia megap-megap kesulitan bernapas. “Saya sampai minta ampun, menyerah. Baru makhluk itu menghilang,” Darmin mengenang.

Selesai? Beberapa malam kemudian peristiwa itu terjadi lagi di tempat yang sama, sehingga Darmin memutuskan untuk tidak akan pernah lagi tidur di tempat yang sama. Yang pasti, supaya tidak terjadi hat trick yang “dimenangkan” sang lawan. Tapi bagi para alumni yang punya cadangan nyali, silakan bertanya pada Darmin tentang lokasi sebenarnya di sekolah tercinta.



PURWANTO, 39 tahun

Petugas kebersihan



Purwanto adalah generasi kedua di keluarganya yang bekerja untuk SMAN 8. Ayahnya, Pak Silam, adalah pensiunan pegawai di bagian penjilidan. “Saya kerja di sini sejak tahun 1992,” katanya. Tanggung jawabnya adalah menjaga kebersihan di lantai satu. Tapi kini, sejak alumni menyumbangkan 8 jenis pohon langka yang ditanam di halaman sekolah, Purwanto menugaskan dirinya untuk lebih cermat merawat pepohonan itu.

Apa pengalaman yang paling berkesan selama bekerja di SMAN 8? “Bertemu dengan alumni lama,” jawabnya cekatan. Ah, bisa saja mas Pur ini mengambil hati.





SOBARI, 38 tahun

Petugas kebersihan



Daerah ‘kekuasaan’ Sobari adalah di lantai tiga. Itu di hari kerja. Kalau di hari Sabtu dan Minggu ketika BTA (Bimbingan Tes Alumni) beroperasi, maka Sobari di-BKO-kan sebagai koordinator kebersihan untuk seluruh wilayah. “Sekarang piket kebersihan kelas sudah tidak ada lagi, karena tugas itu dikerjakan oleh saya dan kawan-kawan,” ujar petugas yang bekerja mulai 1993 itu. Satu orang lagi yang dimaksudkan Sobari adalah Adih.

Empat tahun setelah bekerja di SMAN 8, Sobari memanjatkan puji syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT. “Saya akhirnya berhasil punya rumah sendiri di pinggir kali dekat sini,” katanya dengan nada gembira. Jadi dekat ke sekolah, dekat juga ke rumah.

Barangkali yang belum terpikirkan oleh Sobari hanya satu: kalau SMAN 8 jadi pindah lokasi.



ENTIN

Petugas katering



SMAN 8 sering menggelar kegiatan yang membutuhkan jasa katering. Salah satu yang sering berperan adalah Entin, perempuan sederhana yang mungkin tak pernah dikenal mayoritas alumni. Entin bukan pemilik katering, dia hanya sering membantu-bantu dalam menyiapkan katering. Jadi kenapa dia harus diekspos? Karena Entin adalah anak Pak Oher. “Oh bukan, salah itu. Saya cucu Pak Oher, bukan anaknya,” Entin meralat selentingan yang beredar di kalangan Buku 50 Tahun Smandel.

Ya, seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, maka tak ada anak cucu pun jadi. Karena Entin pernah tinggal di lingkungan sekolah saat Pak Oher masih bekerja, maka banyak pengalaman menarik yang pernah dia alami. Tapi yang paling diingatnya ketika dia dan Pak Oher ‘menemukan’ dua orang preman yang sedang tergolek di bak sekolah karena sedang ... mabuk!

AKSI HEROIK IBU HILMA

Oleh: dMoNo ‘79*




Mahasiswa angkatan 1970-an memang bukan kelompok pertama yang membentuk gerakan melawan pemerintahan. Tetapi dengan idealismenya yang tinggi dan semangat menggebu, mereka seakan menjadi kekuatan moral yang selalu berusaha mengoreksi segala bentuk penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu penyimpangan itu dilakukan dengan sangat gamblang oleh Orde Baru, rezim yang awalnya justru sangat diharapkan sebagai motor perubahan menuju Indonesia yang lebih modern. Namun dalam perjalanannya, mantan Presiden Soeharto justru membuat banyak kebijakan yang sarat bermuatan KKN yang membuat mahasiswa gerah.

Dalam upaya meredam aktivitas politik mahasiswa yang mulai menunjukkan pembangkangan terhadap Orde Baru, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan untuk mensterilkan kampus dari kehidupan politik.

Salah satu peristiwa yang berkaitan dengan SMAN 8 dalam konteks NKKBKK terjadi pada medio April 1978. Saat itu terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Peserta demonstrasi bukan saja mahasiswa Universitas Indonesia dan kampus-kampus lainnya di ibukota, tetapi juga melibatkan siswa Sekolah Menengah Atas yang dikoordinasi oleh IKOSIS (Ikatan OSIS) Jakarta. Sejauh ini, hal itu masih belum mengganggu aktivitas belajar di SMAN 8.

Awalnya, kami para siswa sangat tidak antusias untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi yang digalang IKOSIS Jakarta. Tetapi kemudian muncul ancaman dari mereka. ”Bila SMA 8 terus tidak ikut demo, kami IKOSIS Jakarta akan menyerbu Taman Bukit Duri.” Kira-kira begitulah kabar yang beredar.

Alhasil koordinasi internal pun dilakukan pengurus OSIS dengan pengurus PUAPALA. Hasil kesepakatan adalah SMAN 8 akan ikut melakukan demo, tetapi hanya sebatas area sekolah. Tidak diperbolehkan ada yang keluar, kendati beberapa rekan telah berada di Salemba. Maka dalam waktu singkat bertebaranlah poster-poster dan spanduk di seluruh dinding sekolah yang isinya menentang diberlakukannya konsep NKK/BKK.

Pada hari kedua, demo masih berjalan tertib. Setiap siswa SMA 8 -- mayoritas dari kelas 2 dan 3 – yang ikut demo mengenakan pita warna hitam yang dipasang di lengan. Memang tidak semua siswa bersedia ikut demo. Tetapi itu tidak masalah, karena memang tidak diwajibkan. Mereka yang tidak ikut demo hanya menonton rekan-rekannya melakukan orasi di lapangan basket.

Namun tanpa diduga sama sekali, datanglah dua truk ABRI (kini TNI) mendatangi SMA8 dan sepasukan tentara baret hijau tahi ayam, mungkin dari Arhanud, turun dengan sigap dari badan truk dan langsung mengepung SMAN 8. Dengan dengan mata merah tanpa ekspresi sebagian dari mereka langsung mendobrak masuk melalui pintu dekat kantin pak Okher, membuat para siswa panik.

Tak berapa lama sang komandan juga masuk dan dengan suara keras meminta kami untuk mencopot semua poster, spanduk, foto-foto serta segera menyerahkan semua kamera. Bentakan prajurit terdengar di mana-mana. Meski diliputi rasa takut, namun kami menolak perintah itu dan berusaha mempertahankan semua poster dan spanduk tetap berada di tempat masing-masing.

Penolakan para murid SMAN 8 itu barangkali tak pernah dibayangkan para tentara, sehingga membuat mereka makin marah. Sang komandan menginstruksikan kepada anak buahnya untuk menggiring kami menaiki truk ABRI.

Tak bisa lagi menolak, akhirnya satu persatu kami menaiki truk dengan gemetar dan ketakutan entah akan dibawa kemana. Dalam suasana yang menegangkan karena suara-suara keras para tentara, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat nyaring. Begitu nyaringnya sehingga membuat semua orang terdiam mendengar perkataannya.

“Turunkan anak-anakku dari truk! Kami akan patuhi perintah!”

Saya menoleh ke belakang, ternyata suara itu muncul dari ibunda tercinta Dra. Hilma Dahnir, kepala sekolah SMAN 8. Meski suaranya keras, saya lihat matanya berkaca-kaca, dan beliau lalu bernegosiasi dengan komandan pasukan. Akhirnya “perintah” bu Hilma dipatuhi tentara. Satu persatu kami kembali diturunkan.

Ada satu insiden kecil ketika seorang murid yang turun dari truk, saya lupa namanya, menggerutu sambil mengomeli ABRI. Tiba-tiba saja, tap!, popor senjata seorang prajurit mampir di tubuhnya yang membuat murid itu terdiam. Untung bukan kepalanya yang dihajar. Konon, belakangan beredar kabar bahwa prajurit yang ditugaskan menyerbu SMAN 8 baru saja kembali dari tugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste – red), dan belum sempat kembali ke markasnya. Kabarnya lagi, mereka juga disuntik agar tidak mudah lelah dan menjadi beringas dalam bertugas. Entah suntikan jenis apa.

Selain insiden truk yang akhirnya justru menunjukkan aksi heroik ibu Hilma Dahnir, murid-murid yang memilih masuk ke dalam kelas juga seperti sepakat melakukan aksi bisu. Tak ada seorang pun yang bicara, sehingga suasana kelas sangat lengang, selain tegang. Beberapa saat kemudian para prajurit yang “bertugas” di SMAN 8 itu ditarik kembali, sehingga suasana sekolah untuk sejenak kembali tenang. Ternyata kami diliburkan selama dua hari, dan SMAN 8 dijaga aparat.

Tapi hal itu belum berakhir. Meski sekolah kini sudah bersih dari poster dan spanduk, ternyata pencarian terhadap pemasang poster, spanduk dan yang mengambil foto-foto demonstrasi terus dilakukan aparat, bahkan melibatkan sejumlah intel. Isu penangkapan/penculikan terhadap siswa tertentu akhirnya tersebar luas dan, ini yang membuat kami takut luar biasa, karena kabarnya akan dilakukan dengan paksa. Bahkan dengan penculikan bila perlu.

Isu ini juga punya dampak lain, yaitu munculnya kecurigaan antarsiswa terutama terhadap siswa-siswa yang diduga sebagai intel. Pengeroyokan terhadap salah seorang siswa hampir saja terjadi pada satu hari, karena kuat dugaan teman-teman bahwa siswa itulah yang selalu mencari informasi tentang siapa saja para pemasang poster dan spanduk di sekolah. Untunglah keributan yang lebih parah berhasil dicegah.

Kekhawatiran itu membuat sebagian dari kami tidak berani kembali kembali ke rumah, takut akan diciduk petugas. Sepulang dari sekolah kami sembunyi di sebuah villa di daerah Cibulan. Uniknya, ada juga yang malah sembunyi di Bandung. Saat itu jarak Jakarta-Bandung lumayan jauh, jangan bayangkan dengan kondisi sekarang dengan adanya jalan tol Cipularang yang membuat kedua kota hanya berjarak 2 jam perjalanan.

Tidak ada yang paling berkesan bagi saya dari saat demo-demo itu terjadi di SMAN 8 selain kekompakan antarsiswa, guru, dan terutama keberanian kepala sekolah Ibu Hilma Danir yang luar biasa. Kami pun lulus tahun 1979 setelah mengalami perpanjangan waktu selama enam bulan. Kami juga yang menjadi generasi terakhir dari murid SMA yang memakai seragam putih biru.

Era NKK/BKK sendiri akhirnya dinyatakan usai setelah Prof. Dr. Fuad Hassan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Daoed Joesoef.


dMoNo adalah nama panggilan Dwi Pramono, alumnus Smandel angkatan 1979.

MISSION IMPOSSIBLE TIM MATEMATIKA*

Mohamad Fajar Syahwali

Angkatan 1992





Tahun 1991 merupakan tahun spektakuler bagi SMAN 8 Jakarta. Sebab dari 6 orang anggota tim International Mathematics Olympiad (IMO/Olimpiade Matematika Internasional) Indonesia yang bertarung di Swedia, tiga di antaranya adalah siswa Smandel tercinta yaitu: Ongki Kurniawan, I Ketut Budi Muliarta dan Nusufirmansyah. Prestasi ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan setahu saya sampai saat ini juga belum pernah disamai lagi, oleh sekolah mana pun di tanah air.

Bagi angkatan kami yang tepat berada satu tahun di bawah ʽSmandel Dream Teamʼ itu, prestasi mereka menjadi beban yang luar biasa berat. Bagaimana tidak? Angkatan kami sejak masuk dianggap kurang meyakinkan secara akademis. Tak jarang para guru mengeluh secara terbuka.

Walaupun demikian, usaha mesti ditempuh. Mission Impossible pun dijalankan. Kepala Sekolah Pak Nurdin Amir meminta Ibu Pangestuti yang memang guru matematika untuk membentuk tim baru sejak bulan pertama kami naik kelas tiga. Tidak tanggung-tanggung, ada 15 orang yang dilatih secara intensif dengan tambahan 2-3 jam matematika per hari. Kami juga dimotivasi dengan kisah-kisah kehebatan para senior macam Harinaldi, Rustamaji dan tentu ketiga kakak kelas kami tersebut.

Namun dalam perjalanan yang melelahkan untuk menguliti soal-soal matematika ʽwarisanʼ jaman Belanda atau hasil IMO tahun sebelumnya, sebagian anggota tim rontok. Ada yang jenuh, ada pula yang lebih memilih ikut bimbingan belajar dengan target lulus UMPTN. Meski jumlah anggota berkurang, ternyata hasil binaan Ibu Pangestuti memang mantap! Ibarat grand prix bulu tangkis, karena karena Smandel memiliki banyak stok pemain, maka mudah digonta-ganti sesuai kebutuhan.

Musim kompetisi tahun 91/92 dimulai dari Universitas As Syafiʼiyah, dengan hasil Smandel merebut juara I melalui saya sendiri Sayang, giliran lomba berlangsung di Universitas Nasional, dua tim yang diikutkan Smandel gagal mencapai final. Kedua turnamen ini memang tak hanya melombakan matematika tetapi juga IPA. Bahkan kompetisi di Unas menerapkan ujian praktek.

Smandel kembali bersinar di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara meyakinkan, seluruh lawan dibabat sejak awal turnamen. Sigit Puspito mendapatkan poin tertinggi di babak penyisihan. Di acara final yang dipimpin langsung oleh pembina Tim Matematika Nasional, Prof. Andi Hakim Nasution, tim Smandel A (Iko, Sigit, dan saya) menjadi juara I, sedangkan Smandel B (Igo, Tanjung, Rizqy) menjadi juara III setelah mengalahkan musuh bebuyutan dari SMAK I dan SMAK III. Alhasil keenam anggota tim Smandel berhak untuk mengikuti Asia Pacific Mathematics Olympiad (APMO). Igo (Lettu Sri Tigo Kencono, kini almarhum) bahkan mendapatkan honorable mention pada APMO tahun itu.

Di IKIP, prestasi Smandel lumayan baik dengan hasil 1 piala atas nama Tanjung. Kemudian di Akademi Ilmu Statistik, Smandel kembali mendominasi dengan menempatkan 4 dari 6 orang finalis, dan meraih 3 piala. Penampilan Danu, Tanjung, Dicky dan Indra di dalam mengerjakan soal secara live di depan penguji dan ratusan penonton menggentarkan lawan-lawan.

Keberhasilan berlanjut di STMIK Gunadarma. Dengan suntikan tambahan dari para jagoan komputer Smandel seperti Novi Abubakar, Yudianto Permono, dan Indralaksana, Smandel turun dengan 3 tim sekaligus. Tim Smandel berhasil kembali mendominasi dengan meraih juara I dan III melalui perjuangan ketat dalam pertandingan berformat cerdas cermat.

Penampilan yang juga tak kalah mengkilap di dalam format cerdas cermat adalah saat menyabet gelar juara III di Universitas Pakuan, Bogor, dengan suntikan pemain tambahan dari para jagoan ilmu biologi (A2) seperti Santi Budiasih dan Eggi Arguni. Sayang penampilan Smandel di Fateta IPB di kampus Darmaga, yang saat itu masih gersang, kurang berhasil.

Untungnya ini hanya semacam break down sesaat. Prestasi tim matematika Smandel kembali berkilau ketika berhasil menempatkan dua orang siswa terbaik ke IMO 1992 di Moskow. Iko Pramudiono dan Sri Tigo Kencono melalui berbagai tahapan seleksi yang melelahkan, akhirnya melanjutkan tradisi menempatkan siswa Smandel di tim matematika Indonesia ke IMO. Ini sangat mengharukan karena angkatan yang semula dipandang sebelah mata, ternyata mampu berprestasi cukup meyakinkan.

Hampir seluruh anggota tim matematika Smandel 91/92 akhirnya menyelesaikan tugas dengan sukses. Ternyata usaha keras, semangat juang, doa, serta pengorbanan waktu, tenaga, biaya dan pembinaan dari Ibu Pangestuti berbuah manis.

Bagi para alumni yang selalu menganggap Ibu Pangestuti sebagai guru killer dalam mengajarkan matematika, ada rahasia yang hanya diketahui para anggota tim. Yakni, kalau beliau mengajar di kelas selalu tanpa kompromi dan selalu memanggil dengan nama lengkap siswa, namun begitu mengisi pelajaran tambahan gayanya berubah 180 derajat. Ibu Pangestuti tidak segan-segan bercanda dan bahkan memanggil kami dengan ... nama panggilan!





* Dipersembahkan untuk Ibu Pangestuti yang dengan sabar mendidik kami ,dan rekan almarhum Lettu Sri Tigo Kencono yang wafat saat menjalankan tugas di dalam pengamanan peringatan Konferensi Asia Afrika tahun 2005.







Boks:



Anggota tim Matematika Smandel 91/92:

Iko Pramudiono, Sigit Puspito Wigati Jarot, Sri Tigo Kencono, Mohamad Fajar Syahwali, Tanjung Puranto, Rizqy Indrawan, Antonius Dicky, Danu Sumitro, Teuku Rakhmat Indra, Denny Galant, Bobby Ariyanto, Erwin Rizkiano, Pamela Cardinale, Bembi Dwi Indrio, Yudhianto.